Ahad, 27 Januari 2013

Ulama-ulama Bermadzhab Syafi’iyah, Sejak Masa Imam Syafi’i Hingga Abad Ini
Para ulama’ yang bermazhab Syafi’i, mulai dari pengasasnya yaitu al-Imam al-Muhaddits al-Mujtahid Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah hingga para ulama’ Syafi’i abad ini, supaya kita dapat mengenali para ulama’ yang bermazhab Syafi’i dan jangan lagi ada orang memandang remeh dan rendah terhadap Mazhab Syafi’i. KURUN KE-TIGA HIJRIYAH - al-Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H) Nama asli dari al-Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf. Gelar beliau adalah Abu Abdillah. Orang arab biasanya jika menulis nama mendahulukan gelar daripada nama, sehingga disebut Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Belai lahir di Gaza, bagian selatan Palestina, pada tahun 150 Hijiriyah, pertengahan abad kedua hijriyah. Sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tatapi kedua perkataan itu tidaklah berbeda karena Gaza dahulunya adalah daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’I bukan di Gaza (Palestina) tapi di Mekkah (Hijaz). Kedua orang tua beliau datang ke Gaza untuk sebuah keperluan dan tidak lama beliau lahir di situ. Suatu ketika ayah Imam Syafi’i wafat di Gaza dan beliau menjadi yatim, diasuh oleh Ibunya. Sejarah telah mencatat ada 2 peristiwa penting sekitar kelahiran Imam Syafi’I rahimahullah ; 1. Sewaktu Imam Syafi’imasih dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membubung tinggi, kemudian bintang itu berhamburan dan berserak menerangi daerah-daerah disekelilingnya. Ahli mimpi memaknai mimpi itu bahwa ia akan melahirkan seorang putra yang ilmunya meliputi seluruh jagat. Sekarang telah menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’i memang memenuhi dunia, bukan saja di tanah Arab, timur tengah dan Afrikan, tetapi juga sampai kearah timur jauh, ke Indonesia, Malaysia, Thailand, Piliphina dan lainnya. 2. Sepanjang sejarah pada hari dimana Imam Syafi’I dilahirkan, meninggal dua orang Ulama Besar, seorang di Baghdad (Irak) yaitu al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (Pengasas Madzhab Hanafi) dan seorang Ulama lagi di Mekkah yaitu al-Imam Ibnu Jurej al-Makky, Mufti Hijaz disaat itu. Seorang ahli firasat berkata, ini merupakan pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam “ilmu dan kecerdasan”nya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan. Nasab Imam Syafi’I adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay. Abdul Manaf bin Qusyai yang menjadi kakek ke-9 Imam Syafi’I adalah Abdul Manaf bin Qushai yang juga menjadi kakek ke-4 Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana telah diketahui, bahwa silsilah Nabi Muhammad adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qusyai bin Kilab bin Marah bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Quzaiman bin Mudrikah bin Ilyas, bin Ma’ad bin Adnan sampai kepada Nabi Ismail as dan Nabi Ibrahim as. Maka jelaslah bahwa silsilah Imam Syafi’i bertemu dengan silsilah Nabi Muhammad SAW. Adapun dari pihak Ibu, Fatimah binti Abdmullah bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ibu Imam Syafi’i adalah cucu dari cucu Sayyidina Ali bin Abi Thalib, menantu, sahabat Nabi dan Khalifah ke-4 yang terkenal. Sepanjang sejarah telah ditemukan bahwa Said bin Abu Yazid, kakek Imam Syafi’I ke-5 adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi baik dilihat baik dari segi nasab maupun dari segi keturunan ilmu, maka Imam Syafi’i Rahimahullah adalah kerabat Nabi Muhammad SAW. Gelar “asy-Syafi’i” dari Imam Syafi’i rahimahullah diambil dari kakek ke-4 beliau yaitu Syafi’ib in Saib. Selengkapnya silahkan [download disini]. -al-Imam al-Humaidi (w. 219 H) Nama lengkap beliau adalah ‘Abdullah bin Zuber bin ‘Isa, Abu Bakar Al-Humaidi. Beliau adalah juga murid langsung dari Imam Syafi’i. Beliaulah yang membawa dan mengembangkan Mazhab Syafi’I ketika di Makkah, sehingga beliau diangkat menjadi Mufti Makkah. Inilah di antara 11 orang murid-murid langsung dari Imam Syafi’i yang kemudian menjadi Ulama’ Besar dan tetap teguh memegang Mazhab Syafi’i. Maka dengan perantaraan beliau-beliau inilah Mazhab Syafi’i tersiar luas ke pelusuk-pelusuk dunia Islam terutama ke bahagian Timur dari Hijaz, iaitu Iraq, ke Khurasan, ke Maawara An-Nahr, ke Azerbaiyan, ke Tabristan, juga ke Sind, ke Afghanistan, ke India, ke Yaman dan terus ke Hadhramaut, ke Pakistan, India dan Indonesia. Beliau-beliau ini menyiarkan Mazhab Syafi’i dengan lisan dan tulisan. Selain dari itu ada dua orang murid Imam Syafi’i yaitu Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241H) yang kemudian ternyata membentuk satu aliran dalam fiqih yang bernama Mazhab Hanbali. Yang kedua Syeikh Muhammad bin ‘Abdul Hakam , seorang Ulama’ murid langsung dari Imam Syafi’i yang ilmunya tidak kalah dari Al-Buwaiti. Beliau ini pada akhir umurnya berpindah ke Mazhab Maliki dan wafat dalam tahun 268H. di Mesir. Ulama’-ulama’, murid yang langsung dari Imam Syafi’i ini boleh dinamakan Ulama’-ulama’ Syafi’iyah, iaitu Ulama’-ulama’ Syafi’iyah tingkatan pertama. Ada tingkatan kedua, iaitu Ulama’- ulama’ Syafi’iyah yang wafat dalam abad ketiga juga, tetapi tidak belajar kepada Imam Syafi’i sendiri, melainkan kepada murid-murid Imam Syafi’i . Ulama’-ulama’ itu adalah : Ahmad bin Syayyar Al-Marwazi, Imam Abu Ja’far At-Tirmizi, Abu Hatim Ar-Razi, Imam Bukhari, Al-Junaid Baghdad, Ad-Darimi, Imam Abu Daud dan lain-lain. Sebelas murid-murid langsung dari Imam Syafi’i adalah Imam Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, Al-Buwaiti, Al-Muzani, Harmalah At-Tujibi, Az-Za’farani, Al-Karabisi, At-Tujibi, Muhammad bin Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Al-Humaidi Wafat di Makkah pada tahun 219H - al-Imam al-Buwaiti (w. 231 H) Nama Lengkap beliau adalah Abu Ya’kub bin Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, lahir di desa Buwaiti (Mesir) wafat 231 Hijriyah. Beliau adalah murid langsung dari Imam Syafi’I rahimahullah, sederat dengan ar-Rabi’i bin Sulaiman al-Muradi. Imam Syafi’I berkata ; “Tidak seorangpun yang lebih berhak ata kedudukanku melebihi dari Yusuf bin Yahya al-Buwaiti ” dan Imam Syafi’I berwasiat jika beliau wafat maka yang akan menggantikan kedudukan beliau mengajar adalah al-Imam Buwaiti ini. Beliau menggantikan Imam Syafi’I berpuluhan tahun dan pada akhir umur hidup beliau ditangkap kerena persoalan “fitnah Qur’an” yaitu tentang apakah al-Qur’an itu makhluk atau tidak, yang digerakkan oleh kaum Muktazilah. Akhirnya al-Imam Buwaiti ditangkap oleh Khalifah yang pro terhadap paham Muktazilah, lalu dibawa dengan ikatan rantai ditubuhnya ke Baghdad. Beliau wafat dipenjara pada tahun 231 Hijriyah. Beliau syahid karena mempertahankan kepercayaan dan i’tiqad beliau yaitu I’tiqad kaum Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mempercayai bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang Qadim, bukan “ciptaan Allah” (Makhluk). - al-Imam Ishaq bin Rahuyah (w. 238 H) Nama lengkap beliau adalah Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Rahuyah. Lahir tahun 166 H. wafat tahun 238H. Beliau belajar fiqih kepada Imam Syafi’i yang terkenal. Bukan saja dalam ilmu fiqih tetapi juga dalam ilmu Hadits. Imam bBukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, banyak mengambil hadits kepada Ishaq bin Rahuyah ini. Imam Nasa’i mengatakan bahawa Ibnu Rahuyah adalah “Tsiqqah”, yaitu “dipercayai”. - al-Imam Muhammad bin Syafi’i (w. 240 H) Muhammad bin Syafi’i, gelar Abu Utsman Al-Qadi. Beliau adalah anak yang tertua dari Imam Syafi’i. Pada akhir usia beliau, menjabat kedudukan Qadi di Jazirah dan wafat di situ tahun 240H. - al-Imam al-Karabisi (w. 245 H) Nama lengkap beliau adalah Imam Abu ‘Ali, Husein bin ‘Ali Al-Karabisi. Beliau juga seorang murid langsung dari Imam Syafi’i sesudah terlebih dahulu menganut ajaran Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan kemudian masuk dalam Mazhab Syafi’i, beliau adalah menjadi tiang tengah dalam menegakkan fatwa dan aliran-aliran Imam Syafi’i. - al-Imam at-Tujibi (w. 250H) Ahmad bin Yahya bin Wazir bin Sulaiman At-Tujibi. Beliau adalah seorang Ulama’ yang belajar langsung dalam ilmu bfiqih kepada Imam Syafi’i. Meninggal dan bermaqam di Mesir. - al-Imam al-Muzani (w. 264 H) Pengarang kitab Mukhtashar Muzanni ini, bisa di [baca selengkapnya disini]. - al-Imam Harmalah at-Tujibi (w. 243 H) Nama lengkapnya Harmalah bin Yahya Abdullah At-Tujibi, murid Imam Syafi’I Rahimahullah. Beliau adalah ulama besar penegak madzhab Syafi’i yang menyusun kitab-kitab Imam Syafi’i. Didalam madzhab Syafi’I terkenal kitab Harmalah yaitu kitab karangan Imam Syafi’I rahimahullah yang disusun oleh murid beliau yaitu Harmalah bin Yahya. Selain ahli Fiqh Syafiyyah yang terkenal, beliau juga juga ahli Hadits yang menghafal hadits-hadits Nabi. Khabarnya beliau telah menghafal 10.000 hadits Nabi. Diantara ahli hadits yang menjadi murid dari Harmalah, diantaranya adalah Imam Muslim, Imam Ibnu Qutaibah, Imam Hasan bin Sofyan dan lain-lain. - al-Imam Bukhari (w. 256 H) Nama lengkap beliau Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughitah bin Bardizbah Al-Jufri Al-Bukhari. Lahir tahun 194 H. di Bukhara Asia Tengah. Sejak kecil beliau sudah menghafal Al-Qur’an di luar kepala dan sangat menyukai mencari dan mendengar Hadits-hadits Nabi. Kemudian selama 16 tahun beliau menyusun dan mengarang kitab sohihnya yang berjudul kitab “Sohih Al-Bukhari”. Beliau selalu mengedar ke daerah-daerah dan kota-kota negeri Islam ketika itu. Beliau belajar Hadits di negerinya dan kemudian pergi ke Balkha, ke Marwa, ke Nisabur, ke Rai, ke Basrah, ke Kufah, ke Makkah, ke Madinah, ke Mesir, ke Damaskus, ke Asqalan dan lain-lain. Perjalanan beliau ini adalah dalam rangka mencari ulama’-ulama’ yang menyimpan hadits dalam dadanya untuk dituliskannya di dalam kitab yang ketika itu sangat kurang sekali. Kitab Sohih Bukhari itu adalah kitab agama Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Hadits-hadits di dalamnya menjadi sumber hukum yang kuat dalam fiqih (hukum) Islam. Pada mulanya beliau sampai menghafal hadits sebanyak 600,000 hadits yang diambilnya dari 1,080 orang guru, tetapi kemudian setelah disaring dan disaringnya lagi, maka yang dituliskannya dalam kitab Sohih Bukhari hanya 7,275 hadits. Kalau disatukan hadits yang berulang-ulang disebutnya dalam kitab itu, jadinya berjumlah 4,000 hadits yang kesemuanya hadits sohih dan diterima oleh seluruh dunia Islam, terkecuali oleh orang yang buta mata hatinya. Di antara guru beliau dalam fiqih Syafi’i adalah Imam Al-Humaidi, sahabat Imam Syafi’i yang belajar fiqih daripada Imam Syafi’i ketika berada di Makkah Mukarramah. Juga beliau belajar fiqih dan Hadits daripada Za’farani, Abu Thur dan Al-Karabisi, ketiganya adalah murid Imam Syafi’i. Demikianlah diterangkan oleh Imam Abu ‘Asim Al-Abbadi dalamkitab “Tobaqat”nya. Beliau tidak banyak membicarakan soal fiqih, tetapi hampir semua pekerjaan beliau berkisar kepada hadits-hadits saja yang tidak mengambil hukum dari hadits-hadits itu. Ini suatu bukti bahawa beliau bukan Imam Mujtahid, tetapi ahli hadits yang di dalam furu’ Syari’at beliau menganut Mazhab Syafi’i. Di dalam kitab “Faidhu Qadir” syarah Jamius Saghir pada juzu’ I halaman 24 diterangkan bahawa Imam Bukhari mengambil fiqih daripada Al-Humaidi dan sahabat Imam Syafi’i yang lain. Imam Bukhari tidak mengambil hadits daripada Imam Syafi’i kerana beliau meninggal dalam usia muda, tetapi Imam Bukhari belajar dan mengambil hadits daripada murid-murid Imam Syafi’i. Tetapi sesungguhnya begitu, di dalam kitab Sohih Bukhari ada dua kali Imam Syafi’i disebut, iaitu pada bab Rikaz yang lima dalam kitab Zakat dan pada bab Tafsir ‘Araya dalam kitab Buyu’. (Lihat Fathul Bari juzu’ IV, halaman 106 dan pada juzu’ V halaman 295) - al-Imam az-Za’farani (w. 260 H) Nama lengkap beliau adalah al-Imam Hasan bin Muhammad as-Sabah az-Za’farani. Lahir didusun az-Za’farani dan pindah ke kota Baghdad, disana beliau belajar kepada al-Imam Syafi’I Rahimahullah. Al-Imam az-Za’farani adalah murid langsung dari Imam Syafi’i. Imam Bukhari, seorang ahli hadits yang terkenal banyak mengambil hadits dari al-Imam Za’farani namun beliau tidak menjadi mujtahid Fiqh. Beliau tetap memegang madzhab Imam Syafi’i. Dari beliau ini mengalir madzhab Imam Syafi’I kepada Imam Bukhari sehingga beliau menganut madzhab imam Syafi’I dalam syariat dan Ibadah. - al-Imam Muslim (w. 261 H) Beliau adalah Al-Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, yang lebih dikenal dengan Imam Muslim. Dilahirkan pada tahun 204 Hijriah dan meninggal dunia pada sore hari Ahad bulan Rajab tahun 261 Hijriah dan dikuburkan di Naisaburi. Beliau juga sudah belajar hadits sejak kecil seperti Imam Bukhari dan pernah mendengar dari guru-guru Al Bukhari dan ulama lain selain mereka. Orang yang menerima Hadits dari beliau ini, termasuk tokoh-tokoh ulama pada masanya. Ia juga telah menyusun beberapa karangan yang bermutu dan bermanfaat. Yang paling bermanfaat adalah kitab Shahihnya yang dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab ini disusun lebih sistematis dari Shahih Bukhari. Kedua kitab hadits shahih ini; Shahih Bukhari dan Shahih Muslim biasa disebut dengan Ash Shahihain. Kadua tokoh hadits ini biasa disebut Asy Syaikhani atau Asy Syaikhaini, yang berarti dua orang tua yang maksudnya dua tokoh ulama ahli Hadits. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin terdapat istilah akhraja hu yang berarti mereka berdua meriwayatkannya. Imam Muslim meninggalkan karya tulis yang tidak sedikit jumlahnya, di antaranya Al-Jami` ash-Shahih atau lebih dikenal sebagai Sahih Musli Al-Musnad al-Kabir (kitab yang menerangkan nama-nama para perawi hadits) Kitab al-Asma wal-Kuna Kitab al-Ilal Kitab al-Aqran Kitab Su`alatihi Ahmad bin Hambal Kitab al-Intifa` bi Uhubis-Siba` Kitab al-Muhadramin Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahid Kitab Auladish-Shahabah Kitab Auhamil-Muhadditsin - al-Imam Ahmad bin Syayyar al-Marwazi (w. 268 H) Nama lengkap beliau adalah Ahmad bin Syayyar bin Ayub Abu Hasan Al-Marwazi. Beliau adalah murid dari Ishaq bin Rahuyah dan Ulama’- ulama’ Syafi’i yang lain, ulama’-ulama’ seperti Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Imam Bukhari dan lain-lain, mengambil ilmu kepada beliau. Syeikh Ahmad bin Syayyar yang membawa dan memajukan Mazhab Syafi’i ke Marwin, ke Ghazanah di India, ke Afghanistan dan lain-lain. Beliau adalah pengarang kitab “Tarikh Marwin”. - al-Imam ar-Rabi’ ibn Sulaimanal-Muradi (w. 270 H) Beliau adalah murid langsung dari Imam Syafi’i Rahimahullah, dibawa dari Baghdad sampai ke Mesir. Lahir tahun 174 Hijriyah dan wafat pada tahun 270 Hijriyah. Beliau inilah yang membantu Imam Syafi’I menulis kitabnya al-Umm dan kitab ushul Fiqh pertama didunia yaitu kitab ar-Risalah al-Jadidah. Berkata Muhammad bin Hamdan, “saya datang ke kediaman Rabi’I pada suatu hari, dimana didapati didepan rumahnya 700 kendaraan membawa orang yang datang mempelajari kitab Syafi’i dari beliau”. Ini merupakan bukti bahwa al-Imam ar-Rabi’I ibnu Sulaiman al-Muradi adalah seorang yang utama, penyiar dan penyebar madzhab Syafi’i dalam abad-abad yang pertama. Disebutkan dalam kitab al-Majmu’ halaman 70, kalau ada perkataan “sahabat kitab ar-Rabi’i” maka maksudnya ar-Rabi’i Sulaiman al-Muradi. Didalam kitab al-Muhzab, tidak ada ar-Rabi’I selain ar-Rabi’I ini, kecuali ar-Rabi’I dalam masalah menyamak kulit yang bukan ar-Rabi’I ini melainkan ar-Rabi’I bin Sulaiman al-Jizi. (Beliau juga adalah sahabat Imam Syafi’i). - al-Imam Ibnu Majah (w. 275 H) Nama beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini . Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari sebelum berakhirnya bulan Ramadhan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadits dari berbagai negara hingga beliau mendengar hadits dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama yang menerima hadits dari beliau. Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah dan kitab ini sebelumnya tidak mempunyai tingkatan atau tidak termasuk dalam kelompok kutubus sittah (lihat di bagian hadits) karena dalam kitabnya ini terdapat hadits yang dlaif bahkan hadits munkar. Oleh karena itu para ulama memasukkan kitab Al Muwaththa karya Imam Malik dalam kelompok perawi yang lima (Al Khamsah). Menurut penyusun (Ibnu Hajar) ulama yang pertama kali mengelompokkan atau memasukkan Ibnu Majah kedalam kelompok Al Khamsah itu adalah Abul Fadl bin Thahir dalam kitabnya Al Athraf, kemudian Abdul Ghani dal kitabnya Asmaur Rijal - al-Imam Abu Daud (w. 276 H) Nama lengkap beliau adalah Sulaimam bin Asy’ats bin Ishak As-Sijistani , yang kemudian terkenal dengan Imam Abu Daud saja. Beliau berasal dari Sijistan sebuah desa di India, lahir pada tahun 202H. Seorang ulama’ ilmu hadits yang terkenal, yang kitabnya “Sunan Abu Daud” termasuk kitab hadits yang enam, iaitu Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmizi. Selain dari itu beliau adalah ahli fiqih Syafi’i, yang dipelajarinya dari Ishaq Ibnu Rahuyah dan lain-lain ulama’ Syafi’iyah. - al-Imam Abu Hatim ar-Razi (w. 277 H) Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Munzir bin Daud bin Mihran. Abu Hatim Ar-Razi , lahir tahun 195H. beliau adalah seorang Ulama’ Syafi’iyah yang besar, yang mengatakan bahawa beliau telah berjalan kaki mencari hadits pada tingkat pertama sepanjang 1,000 farsakh. Beliau berjalan kaki dari Bahrin ke Mesir, ke Ramlah di Palestina, ke Damaskus, ke Intakiah, ke Tarsus, kemudian kembali ke Iraq dalam usia 20 tahun. Di antara guru beliau dalam fiqih ialah Yunus bin ‘Abdul A’ala , iaitu sahabat-sahabat Imam Syafi’iyah - al-Imam ad-Darimi (w. 280 H) Nama lengkap beliau adalah ‘Utsman bin Sa’id bin Khalid bin Sa’id As-Sijistani Al-Hafiz Abu Sa’ad Ad-Darimi. Beliau seorang ahli hadits yang terkenal dan juga ahli fiqih Syafi’i. Beliau belajar fiqih daripada sahabat-sahabat Imam Syafi’i yaitu Al-Buwaiti dan juga daripada Ishak bin Rahuyah. Beliau mengarang kitab hadits besar bernama “Musnad Darimi” dan juga mengarang kitab untuk menolak Bisyir Al-Marisi, Imam Mu’tazilah. - Imam Abu Ja’far at-Tirmidzi (w. 295 H) Nama lengkap beliau ini adalah Muhammad bin Ahmad bin Nasar, Abu Ja’far At-Tirmizi . Beliau adalah seorang Ulama’ Besar Syafi’iyah di Iraq sebelum masanya Ibnu Surej. Beliau mengarang sebuah kitab dengan judul “Kitab Ikhtilaf Ahlis Salat” dalam usuluddin. - al-Imam Junaid al-Baghdadi (w. 298 H) Nama lengkap beliau, ‘Abdul Qasim Junaid bin Muhammad bin Junaid Al-Baghdadi. Beliau adalah seorang ahli tasawuf besar yang sampai sekarang masyhur namanya dalam dunia Islam. Beliau belajar ilmu fiqih daripada Abu Thur Al-Kalibi (murid Imam Syafi’i ) dan dalam usia 20 tahun sudah berfatwa. KURUN KE-EMPAT HIJRIYAH al-Imam an-Nasa’i (w. 303 H) al-Imam at-Thabari (w. 305 H) al-Imam Ibnu Surej (w. 306 H) al-Imam ‘Abdullah bin Muhammad Ziyad an-Nisaburi (w. 324 H) al-Imam Ibnu Qasi (w. 335 H) al-Imam as-Su’luki (w. 337 H) al-Imam al-Asy’ari (w. 324 H) al-Imam Abu Ishaq al-Marwazi (w.340 H) al-Imam Ibnu Abi Hurairah (w. 345 H) al-Imam al-Mus’udi (w. 346 H) al-Imam Abu Saib al-Marwazi (w. 362 H) al-Imam Abu Hamid sl-Marwazi (w. 362 H) al-Imam as-Sijistani (w. 363 H) al-Imam al-Qaffal al-Kabiir (w. 365 H) al-Imam ad-Dariki (w. 375 H) al-Imam Ibnu Abi Hatim (w. 381 H) al-Imam al-Daruquthni (w. 385 H) al-Imam al-Jurjani (w. 393 H) KURUN KE-LIMA HIJRIYAH al-Imam al-Baqilani (w. 403 H) al-Imam Hakim [Hakim al-Naisaburi] (w. 405 H) al-Imam al-Asfaraini (w. 406 H) al-Imam as-Sinji (w. 406 H) al-Imam Ibnu Mahamili (w. 415 H) al-Imam ats-Tsa’labi (w. 427 H) al-Imam al-Mawardi (w. 450 H) al-Imam al-Baihaqi (w. 458H) al-Imam al-Haramain (w. 460H) al-Imam al-Qusyairi (w. 465H) al-Imam asy-Syirazi (w. 476 H) al-Imam al-’Aziz (w. 494 H) al-Imam at-Thabari (w. 495 H) KURUN KE-ENAM HIJRIYAH al-Imam al-Kayahirasi (w. 504 H) al-Imam al-Ghazali (w. 505 H) al-Imam Abu Bakar asy-Syasyi al-Qaffal (w. 507 H) al-Imam al-Baghawi (w. 510 H) al-Imam Syahrastani (w. 548 H) al-Imam Abul Husain Yahya al-Amrani al-Yamani (w. 558 H) al-Imam Syihabuddin Abu Syuja’ (w. 593 H) KURUN KE-TUJUH HIJRIYAH al-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam (w. 606 H) al-Imam ar-Razi (wafat 606 H) al-Imam Ibnu Atsir (w. 606 H) al-Imam Ibnu Shalah (w. 643 H) al-Imam ar-Rafi’i (w. 623 H) al-Imam an-Nawawi (w. 676 H) KURUN KE-DELAPAN HIJRIYAH al-Imam Taqiyuddin Ibnu Daqiqil ‘Id (w. 702 H) al-Imam Zamlukani (w. 727 H) al-Imam Taqiyuddin as-Subki (w. 756 H) al-Imam Tajuddin Subki (w. 771 H) al-Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) al-Imam Zarkasyi (w. 794 H) KURUN KE-SEMBILAN HIJRIYAH al-Imam al-Mahalli (w. 835 H) al-Imam Ibnu Mulaqin (w. 804 H) al-Imam Ibnu Ruslan (w. 844 H) al-Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) al-Imam al-Husaini al-Hishni (w. 829 H) al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Manhaji al-Qahari (w. 880 H) KURUN KE-SEPULUH HIJRIYAH al-Imam as-Suyuthi (w. 911 H) al-Imam Abdullah bin Abdurramah Bafadlal al-Hadlrami (w. 918 H) al-Imam Qasthalani (w. 923 H) al-Imam Zakaria al-Anshari (w. 926 H) al-Imam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) al-Imam Khatib Syarbaini (w. 977 H) al-’Allamah Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (w. 987 H) al-Imam Ahmad ‘Umairah (w. 957 H) KURUN KE-SEBELAS HIJRIYAH al-Imam ar-Ramli (w. 1004 H) al-Imam ar-Raniri (w. 1068 H) al-Imam Ahmad Salamah al-Qalyubi (w. 1069 H) Imam-Imam lainnya pada abad ini sebenarnya banyak. KURUN KE-DUA BELAS HIJRIYAH al-Habib ‘Abdullah ibn ‘Alwi al-Haddad (w. 1132 H) Syaikh Sayyid Ja’far al-Barzanji (W. 1184 H) KURUN KE-TIGA BELAS HIJRIYAH al-Imam asy-Syarqawi (w. 1227 H) al-Imam al-’Allamah Syaikh Sulaiman al-Jumal (w. 1204 H) al-Imam al-Bujairami al-Mishri (w. 1221 H) Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1227 H) Syaikh asy-Syanwani (w. 1233H) Syaikh Abdus Samad al-Falembani/Palembang Syaikh Daud ‘Abdullah al-Fathani (w. 1265 H) al-Imam Al-Bajuri (w. 1276 H) KURUN KE-EMPAT BELAS HIJRIYAH Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Makkah (w. 1304 H) Syaikh al-Bakri Syatha ad-Dimyathi (w. 1302 H) Syaikh an-Nawawi al-Bantani al-Jawi (W. 1316 H) Syaikh Muhammad Khalil al-Maduri [Bangkalan] Syaikh Wan Ali Kutan (w. 1331 H) Syaikh Utsman Betawi (w. 1333 H) Syaikh Ahmad Khatib (w. 1334 H) Syaikh Utsman Senik (w. 1336 H) al-’Allamah az-Zuhri al-Ghamrawi (w. 1337 H) Syaikh Utsman as-Saraqawi (w. 1339 H) Syaikh Muhammad Sa’ad (w. 1339 H) Syaikh Muhammad Sa’id al-Linggi (w. 1345 H) Syaikh Yusuf Bin Isma’il al-Nabhani (w. 1350 H) Syaikh Muhammad Shaleh al-Minankabawi (w.1351 H) Syaikh Wan Sulaiman (w. 1354 H) Syaikh Hasan Ma’sum (w. 1355 H) Syaikh Abu Bakar Muar (w. 1357 H) Syaikh Abdul Latif at-Tanbi (w. 1358 H) Imam Ya’qub al-Kalantani (w. 1360 H) Syaikh Muhammad Jamil Jaho (w. 1360 H) Syaikh Muhammad Shaleh Kedah Syaikh Hasyim Asy’ari (w. 1367 H) Syaikh Abdul Mubin al-Jarimi al-Fathani (w. 1367 H) Syaikh Abdul Wahid (w. 1369 H) Syaikh Muhammad Fadlil Banten (w. ? H) Syaikh Mustafa Husein (w. 1370 H) Syaikh Abbas Qadi (w. 1370 H) Syaikh Tahir Jalaluddin al-Azhari (w. 1376 H) Syaikh Tengku Mahmud az-Zuhdi (w. 1376 H) Syaikh Abdullah Fahim (w. ? H) Syaikh Muda Wali (w. 1380 H) Syaikh Abdurrahman al-Kalantani (w. 1391 H) Syaikh Ismail al-Asyi (w. ? H) Syaikh Ihsan Dahlan al-Jampesi’ Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani (w. ? H) KURUN KE-LIMA BElAS HIJRIYAH Syaikh [KH.] Sirajuddin ‘Abbas (w. 1400 H) Syaikh Muhammad Idris al-Marbawi (W. 1409 H) Mufti Haji Ismail Omar (w. 1413 H) Syaikh’ [Kiyai] Shamsuddin (w. 1418 H) K.H.M. Syafi’i Hadzami (w. 1427 H) Syaikh Muhammad Fuad al-Maliki Syaikh Nuh ‘Ali Salman al-Qudah (w. 1432 H) Syaikh Ahmad Sahl al-Hajini Syaikh Mushthafa al-Khin Syaikh Mushthafa al-Bugha Dan masih banyak lagi yang mungkin terlewatkan untuk kami sebutkan, pada kurun-kurun terakhir kebanyakan hanya disebutkan ulama besar yang berasal dari Nusantara, belum lagi di wilayah lainnya. Disarikan dari buku “SEJARAH DAN KEAGUNGAN MADZHAB SYAFI’I (Oleh KH. Sirajuddin Abbas)” dan dari berbagai sumber. Masih banyak ulama-ulama bermadzhab Syafi’iyyah yang tidak mungkin bisa kami sebutkan disini. Jika banyak berinteraksi kitab-kitab Ulama niscaya akan menjumpai ribuan ulama lainnya. Ad-Dimasyqiy asy-Syafi’i (‘Ulama Syafi’iyyah Damaskus). al-Imam al-Muhaddits al-Bukhariy Bermadzhab Syafi’iyyah Informasi lain tentang ulama-ulama Syafi’iyah bisa dibaca dalam kitab-kitab seperti Thabaqat al-Fuqahaa’ asy-Syafi’iyah karya al-Imam al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubraa karya al-Imam Tajuddin as-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah karya Ibnu Qadli Syuhbah, Thabaqat al-Syafi’iyah karya Jamaluddin Abdur Rahim bin al-Hasan al-Asnawi dan lain sebagainya.

Khamis, 15 September 2011

MENGENAL HAIDH

Mengenal Haidh
Haidh dari sudut bahasa ialah mengalir (السَّيْلاَن) Dari sudut istilah دَمُ جِبْلَةِ يَخْرُجُ مِنْ أَقْصَى رَحِمِ الْمَرْأَةِ فِي حَالِ الصِّحَّةِ فِي أَوْقَاتِ مَخْصُوصَةِ Ertinya darah perangai yang keluar dari bahagian atas rahim perempuan pada ketika sihat badan pada waktu-waktu yang tertentu Darah yang keluar dari kemaluan kaum wanita terbahagi tiga 1. Darah haidh: Darah yang keluar daripada perempuan pada waktu sihat 2. Darah nifas: Darah yang keluar selepas bersalin 3. Darah istihadhah / penyakit: Darah yang keluar bukan pada masa haidh dan nifas. Dalil haidh firman الله al-Baqarah ayat 222 Dalil darah Haidh Maksudnya: Dan mereka itu bertanya kepada engkau ya Muhammad tentang haidh, katakanlah kepada mereka ia adalah darah yang cemar maka tinggalkanlah bersetubuh dengan segala perempuan yang berhaidh dan jangan kamu hampiri mereka itu dengan setubuh sehinga suci mereka itu daripadanya, setelah suci mereka itu maka datangilah mereka itu kerana jimak pada tempat yang menyuruh اللهsesesunguhnya الله mengasihi orang yang banyak bertaubat Dan sabda nabi (ألنبي صلى الله عليه وسلم) هَذَا شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى بَنَاتِ آدَمَ Maksudnya: Ini (haidh) suatu yang telah اللهtetapkan ke atas anak adam yang perempuan Hukum mempelajari tentang haidh Menjadi kewajipan ke atas wanita islam mengetahui hukum berkenaan dengan haidh dan mengenal warna darah haidh. Seorang wanita wajib keluar untuk mempelajari hukum-hukum haidh, nifas dan istihadah apabila suaminya tidak mampu menerangkan permasalahannya. Dan haram atas suami menegah isterinya daripada keluar melainkan ia dapat memberi jawapan apabila ditanya. Pada ketika itu si isteri tidak boleh keluar tampa keizinan daripada suaminya. Warna darah haidh Mengikut ulama-ulama mazhab Syafie terdapat lima warna darah haidh 1. Hitam 2. Merah 3. Warna antara keemasan dan merah (perang) 4. Kuning 5. Keruh iaitu antara warna kuning dan putih Warna kuning dan keruh Darah berwarna kuning dan keruh yang keluar bukan pada waktu haidh tidak diangap haidh. Bersalahan jika ia keluar pada waktu haidh maka ia dikira sebagai haidh. Ini merupakan pendapat yang sohih didalam mazhab Syafie. Umur berlaku haidh Sekurang-kurang umur seorang wanita kedatangan haidh iaitu sembilan tahun hijrah lebih kurang, tidak dengan genap sembilan tahun kerana apabila seorang perempuan melihat darah sebelum sampai sembilan tahun iaitu pada satu tempoh yang tidak mencukupi sekurang-kurang masa haidh / sehari semalam, dan sekurang masa suci / lima belas hari serta malam, maka darah itu adalah haidh. Jika darah yang keluar melebihi tempuh yang tersebut maka ia bukannya darah haidh. Bermakna apabila seorang wanita mendapati keluar darah lima belas hari atau kurang sebelum genap sembilan tahun, maka darah yang kelihatan itu adalah haidh, dan jika enam belas hari atau lebih sebelum genap sembilan tahun, maka darah itu ialah darah rosak / pasad Usia putus haidh Untuk mengatahui seorang wanita telah putus daripada haidh, hendaklah ia mengiktibar / membuat perbandingan dengan putus haidh perempuan yang semasa dengannya. Sebahagian ulama berpendapat perbandingan hendaklah dibuat dengan keluarga yang hampir. Pendapat yang pertama adala terlebih kuat. Sehabis-habis masa putus haidh pada kebiasannya enam puluh dua tahun, sebahagian ulama berpendapat enam puluh tahun, kata setengah pendapat lima puluh tahun. Tahun yang dikehendaki di sini ialah tahun Hijrah. Tetapi tidak ada masa yang tetap bagi kesudahan haidh. Ini kerana apabila sesoarang wanita telah mencapai umur putus haidh sedangkan dia masih kedatangan darah yang mengikuti syarat haidh, ataupun dia telah putus haidh buat beberapa masa kemudian ia kedatang darah, maka darah yang dilihat itu adalah haidh. Tempoh haidh 1. Masa sekurang-kurang haidh ialah sehari semalam dengan syarat berhubung sekelian darahnya . 2. Tempoh sebanyak-banyak haidh lima belas hari serta malamnya dan jika terputus-putus keluarnya sekalipun. 3. Waktu kebisaan haidh tujuh hari atau lapan hari. Apabila seorang wanita kedatangan darah kurang dari sehari semalam dengan lain perkatan darah yang kelihatan tidak sampai dua puluh empat jam, maka darah yang kelihatan itu bukan darah haidh. Darah yang keluar melebihi masa sebanyak-banyak haidh / lima belas hari lima belas malam bukannya darah haidh. Darah yang berhenti tidak sampai sehari semalam kemudian keluar lagi dan berhenti begitulah seterusnya pada hal masa keluar darah tidak melebihi lima belas hari, apabila dihimpunkan darah itu cukup dua puluh empat jam atau lebih maka darah itu adalah haidh dan masa suci (نَقَاء) yang menyalangi di antara darah-darah yang keluar juga dikira didalam haidh. Adapun darah yang terputus-putus yang tidak mencapai sehari semalam apabila dihimpunkan tidak dikira darah haidh. Suci di antara dua haidh 1.Sekurang-kurang tempoh suci yang memisah di antara dua haidh ialah lima belas hari serta malamnya. Kerana dalam sebulan kebiasannya seorang wanita tidak sunyi daripada berlaku haidh dan suci. Oleh sebab tempoh sebanyak-banyak haidh adalah lima belas hari semestinya sekurang-kurang tempoh suci adalah lima belas hari. 2.Tidak ada had pada sebanyak-banyak suci, kerana ada dikalangan wanita yang kedatangan haidh setahun sekali, atau beberapa bulan sekali. Ini boleh terjadi dengan sebab menyusukan anak atau keadan kesihatan dan mungkin juga ketidak suburan seorang wanita itu. 3. Apabila dalam sebulan seorang wanita kebiasannya tidak sunyi antara kedatangan haidh dan suci dan kita ketahui tempuh kebisan haidh tujuh hari atau lapan hari dengan itu baki dari tempuh kebiasan haidh adalah tempuh kebisan suci. Dengan itu tempuh kebiasan suci bagi mereka yang berhaidh tujuh hari ialah dua puluh tiga hari, dan bagi mereka yang berhaidh lapan hari kebiasannya sucinya dua puluh empat hari Suci di antara haidh dan nifas Sekurang-kurang suci di antara haidh dan nifas boleh berlaku kurang daripada lima belas hari. Samaada terdahulu masa haidh daripada masa nifas atau terkemudiannya dari masa nifas. Rupa masalah terdahulu masa haidh dari masa nifas, bahawa melihat seorang wanita yang mengandung akan darah kadar sehari semalam atau lebih kemudian berhenti darahnya satu saad setelah itu ia pun beranak maka tempuh sekurang-kurang suci pada masalah ini ialah satu saad. Rupa masalah terkemudian haidh daripada nifas,seperti seorang perempuan yang sedang bernifas berhenti darahnya dalam masa sesaat setelah enam puloh hari, kemudian keluar darah kadar sehari semalam atau lebih jika tidak melebehi sebanyak-banyak haidh, maka darah yang keluar itu adalah darah haidh. Dan masa suci pada masalah ini se saat . Suci yang berselang seli dengan haidh (نَقَاء) Sesaorang wanita terkadang kedatangan suci semasa dia sedang berada didalam tempoh haidhnya adakah suci itu dikira haidh ataupun tidak? Menurut mazhab Syafie masa yang ia bersih (نَقَاء) daripada haidh itu dikira haidh dengan tiga syarat : 1. Hendaklah waktu suci itu melingkungi antara dua haidh. 2. Hendaklah tempoh bersih dan haidh tidak melebihi lima belas hari. 3. Darah yang keluar tidak kurang dari sehari semalam. Yang dikehendaki dengan suci disini apabila memasuk seorang perempuan secebis kapas didalam farajnya setelah dikeluarkan kapas itu tidak kelihatan bekas darah. Contohnya: Seorang wanita kedatangan darah kemudian berhenti darahnya di dalam beberapa waktu kemudian kembali semula darahnya begitulah seterusnya, jika darah yang keluar itu cukup sehari semalam dan masa kedatangan darah dan suci tidak melebihi lima belas hari serta malamnya maka darah yang kelihatan dan suci antara dua darah adalah dikira waktu haidh. Darah yang keluar semasa mengandung. Darah yang kelihatan daripada perempuan mengandung tergolong di dalam darah haidh jika menapati ciri-ciri darah haidh, dan sekiranya keluar ia sehinga akhir hari mengandung sekalipun. Tetapi kebiasannya perempuan yang mengandung tidak kedatangan haidh. Darah yang keluar di antara dua anak kembar Dua orang kanak-kanak dikira kembar apabila di antara kelahiran yang pertama dan kelahiran kedua tidak sampai enam bulan. Seumpama seorang wanita melahirkan seorang anak kemudian belum sampai enam bulan dia melahirkan seorang lagi, maka kedua anak itu adalah kembar. Dengan itu apabila ia kedatangan darah di antara keluar dua anak kembar itu, maka darah yang kelihatan adalah darah haidh apabila mengikut ciri-ciri darah haidh. Bukanlah darah yang keluar itu nifas, kerana belum kosong peranakan daripada anak. Darah yang kelihatan di antara keluar anggota dan beranak Darah yang kelihatan di antara keluar anggota dan keluar anak ialah darah haidh apabila darah yang keluar mencapai sekurang-kurang haidh dan tidak melebihi sebanyak-banyaknya, seperti seorang perempuan yang sedang mengandung melahirkan anggota anaknya yang di dalam kandungan kemudian ia kedatangaan darah sehari semalam atau lebih tetapi tidak melebihi sebanyak-banyak haidh, maka darah yang kelihatan itu ialah darah haidh. Mengundang kedatangan haidh dan memberhentikannya dengan ubat Dibolehkan seorang wanita mengunakan ubat bertujuan mendatangkan haidh dan memberhentikannya tetapi dengan beberapa syarat 1. Hendaklah pengunan ubat tidak memudaratkannya, jika sebaliknya maka tertegah daripada mengunakan ubat. Islam melarang umatnya membinasakan diri 2. Mestilah mendapat restu daripada suami, demikian juga pengunan pill perancang keluarga semestinya seorang istiri itu mendapat keizinan daripada suaminya. Kerana disini ada hak-hak suami yang wajib dijaga 3. Janganlah dengan mengunakan ubat untuk mendatangkan haidh bertujuan mengugurkan kewajipan seperti sembahayang, puasa dan lainnya. Tanda suci dari haidh Seorang wanita itu diangap suci dari haidh apabila berhenti darah yang keluar dan tidak ada kesan pada kapas yang dimasukkan. Yakni kapas yang dimasukkan setelah dikeluarkan kelihatan bersih dengan tida kesan darah. Jika masih ada kesan darah tetapi tidak keluar darah itu pada zahir faraj yang wajib dibasuh pada ketika istinjak, maka darah itu ialah haidh apabila ia tidak kurang sehari semalam dan tidak lebih dari limabelas hari lima belas malam.. wallahua'lam (Sumber Ustaz Azhar Idrus ( Original )

DARAH NIFAS

Darah Nifas
Nifas pada syara` darah yang keluar kemudian daripada kosong rarim daripada anak, ketul daging atau darah beku yang asal kejadian anak adam pada dua yang akhir. Darah yang keluar semasa peranakan masih ada suatu yang tersebut tidak dinamakan darah nifas. Darah nifas adalah himpunan darah haidh didalam rahim untuk makanan anak. Ia terkumpul sebelum ditiupkan roh dan kemudian daripadanya. Perbezan antara nifas dan haidh iaitu haidh bergantung dengannya iddah dan istbra sedang kan nifas tidak demikian kerana hasil iddah dan istbra dahulu daripada nifas dengan semata-mata beranak. Dan perbezannya lagi iaitu sekurangkurang nifas tidak mengugurkan sembahyang kerana masanya sedikit iaitu sesaad, bersalahan haidh Tempoh darah nifas Sekurang-kurang tempoh nifas sesaat / satu lahzah dan sebanyak-banyaknya enam puloh hari adapun yang kebiasannya empat puloh hari. Permulan nifas iaitu mengiringi beranak ini jika keluarnya mengiringi beranak. Adapun jika keluarnya tidak mengiringi beranak maka permulan masanya adalah permulan keluar darah. Atas pendapat ini masa suci (نقاء) antara keluar anak dan keluar darah bukan daripada nifas. Dengan itu wajib atas perempuan itu mandi wiladah / kerana beranak dan sembahayang didalam masa suci. Tetapi masa suci dibilang daripada enam puloh hari. Seperti seorang perempuan datang darah hari yang kesepuloh daripada beranak maka hari yang keenam puloh daripada beranak habislah masa nifasnya. Apabila wanita yang beranak tidak melihat darah melainkan selepas lima belas hari maka ia ketiadan nifas dan darah yang dilihat itu adalah darah haidh jika mengikut ciri-ciri haidh. Darah yang melebehi tempoh nifas.. Darah yang melebehi sebanyak-banyak tempoh nifas hukumnya sama seperti darah yang melampaui sebanyak-banyak tempoh haidh maka berlaku disini segala bagai mustahadhah dengan segala hukumnya. Denga itu kita perhati keadannya adakah dia baharu kedatangan nifas ataupun telah beradat dan adakah dia dapat membezakan sifat darah atau tiada dan yang telah beradat adakah ingat ia akan adatnya atau tidak. 1. Maka jika ia pertama kali kedatangan nifas dan dapat membezakan sifat darah dikembalikan hukumnya kepada tamyiz apabila tidak melebehi darah yang kuat enam puloh hari dan berlaku disini yang tingal daripada syarat tamyiz. 2. Wanita yang pertama kali kedatangan nifas tetapi tidak dapat membezakan darah yang keluar, nifasnya hanya sesaad (satu lahzah) 3. Wanita yang beradat kedatangan nifas dan ia dapat membeza darah yang keluar hendaklah ia mengikut perbezan darahnya dengan syarat yang telah saya sebut pada tajuk Syarat tamyiz dia tidak boleh mengikut adatnya. 4. Wanita yang beradat kedatangan darah dan ia tidak dapat membeza darahnya hendaklah ia kembali kepada adatnya jika ingat ia akan adatnya ini apabila tidak bersalah-salahan adatnya adapun jika bersalah-salahan adatnya maka seperti terdahulu didalam Bab haidh. Mutahayyirah Wanita yang beradat kedatangan nifas dan ia terlupakan adatnya lagi pula tidak dapat membeza sifat darahnya wajib atasnya bercermat. Lihat hukumnya pada tajuk Mutahayyirah.. wallahua'lam Sumber (Ustaz Azhar Idrus ( Original )

Jumaat, 9 September 2011

SUARA ADALAH AURAT WANITA ???

BOLEHKAH WANITA BERDAKWAH DENGAN BERNASYID ???




Umat Islam terutamanya para muda mudi amat memintai muzik dan lagu. Para remaja Islam dari kalangan lelaki dan wanita juga tidak terkecuali dari menjadi peminat muzik ini. Walau bagaimanapun, mereka mengalihkan minat itu kepada dendangan lagu-lagu nashid yang liriknya membawa kepada kebaikan dan kesedaran agama.

Tidak dapat dinafikan, banyak juga nasyid-nasyid ini yang dilihat menyimpang dari landasan asal lalu sifat komersialnya melebihi nasihatnya. Liriknya yang asalnya membawa kepada nasihat agama mulai bertukar kepada puja-puji wanita dan kekasih. Bezanya dengan lagu pop rock biasa hanyalah kerana ia diadun sedikit dengan menyebut nama-nama Allah sekali sekala, kalimah Islam atau apa-apa elemen Islam.

Saya akan menulis lanjut tentang hal ini kemudian, InshaAllah. Dalam penulisan ini, saya ingin mengajak pembaca melihat peranan kaum wanita muslimah dalam industri nasheed ini. Adakah ianya halal atau sebaliknya?

Suara Wanita

Majoriti ulama berfatwa suara wanita bukanlah aurat. Dalilnya mudah iaitu

أنَّ رسول الله ـ صلَّى الله عليه وسلَّم ـ قال: "يا معشر النساء تصدقن وأكثرن الاستغفار؛ فإنِّي رأيتكنَّ أكثر أهل النار، فقالت امرأة جزلة منهنَّ: وما لنا يا رسول الله أكثر أهل النار؟ فقال: تكثرن اللعن، وتكفرن العشير"..

Ertinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata : wahai seluruh kaum wanita, bersedeqah dan banyakkan istighfar, sesungguhnya aku melihat wanita adalah majority ahli neraka. Maka berkatalah seorang wanita : Mengapa kami menjadi majority ahli neraka ya Rasulullah? : rasul menjawab : wanita banyak yang melaknati dan mencela orang lain serta mengingkari kebaikan suaminya.." (Riwayat Muslim)

Saya bukan ingin mengulas isi kandungan hadith itu, tetapi ingin membawakan bukti bahawa suara wanita dalam keadaan biasa bukanlah aurat. Pertanyaan secara langsung wanita itu membuktinya. Selain hadith ini, banyak lagi hadith-hadith lain yang membuktikan suara wanita bukan aurat.

Hasilnya, pandangan terkuat dalam mazhab Hanafi, yang muktamad dalam Maliki, Syafie dan Hanbali menganggap suara wanita bukanlah aurat.

Berubah Menjadi Aurat

Bagaimana hukum jika seorang wanita itu melembut dan memanjakan suara di hadapan lelaki bukan mahram?.

Inilah perbincangan saya.

Tidak dapat dinafikan lagi jika demikian keadaannya, sudah tentu ia diharamkan oleh Islam.

"eh ustaz, sedapnya suara wanita tadi ye" kata seorang rakan saya

" yang mana satu ni?" Tanya saya sambil cuba mengingat kembali.

"ala, yang sekali meeting dengan kita tadi le" katanya menjelaskan.

"Sedap macam mana tu" tanya saya menduga

"ish..naik le bulu roma saya dan kalau boleh nak dengar tiap-tiap hari suara dia, astaghfirullah, eh.. dosa ke ustaz, suara bukan aurat kan ?" katanya sambil tersenyum kambing.

Bayangkan bagaimana keterlanjuran kata oleh siswa ini di hadapan saya. Wanita perlu mengetahui betapa lemahnya lelaki di hadapan mereka. Lelaki secara umumnya (kecuali yang punyai keimanan yang hebat) memang mudah tergoda dengan suara merdu wanita walaupun wanita itu tidak langsung berniat untuk menggoda. Maka apatah lagi jika di ketika ia memang berniat untuk menggoda.

Saya masih ingat satu ketika di satu universiti, satu mesyuarat sedang berjalan. Saya mempengerusikan mesyuarat.

Suasana agak biasa, sehinggalah tiba-tiba seorang mahasiswi memberikan pandangannya kepada satu isu yang sedang dibincangkan.

Walaupun mahasiswi itu berada di belakang tabir, tetapi oleh kerana suaranya yang lembut dan lemak gemalai secara semulajadi ( bukan sengaja dibuatnya), semua mahasiswa yang tadinya seperti mengantuk menjadi cergas dan terbeliak mata sambil berubah wajah seperti malu-malu serta cukup tekun mendengar setiap butiran ayat yang keluar dari mahasiswi itu.

Entah apa yang merasuk mereka..

Habis meeting, seorang dari mereka menyapa saya lalu berkata :

"sapa tadi ye ustaz, siswi tadi tu"

"siswi mana" tanya saya

"ala yang suara merdu tu, apa namanya ye ustaz..ehem ehem, terpikat juga saya dengar suaranya" tegaskan tanpa malu-malu

Cuba lihat apa yang terjadi, hanya dengan suara tanpa melihat rupa pun sudah boleh meruntun hati seseorang siswa yang mengaji agama di universiti, apatah lagi jika siswa yang mengaji rempitan di jalanraya. !

Teringat Di Jordan

Saya juga teringat satu hari, ketika saya samapi ke satu universiti untuk memberikan ceramah, ketika itu agak kecoh siswa di sana berkenaan satu vcd nashid kumpulan wanita yang baru sampai dari Malaysia. Saya mendengar bahawa terdapat beberapa bakal-bakal ustaz ini yang berebut-rebut untuk melihat dan mendengarnya. Apabila saya bertanya lanjut tentang hal ini kepada seorang pemimpin mahasiswa, rupanya vcd itu begitu popular kerana penashidnya terdiri dari kalangan anak-anak gadis yang 'ada rupa' serta 'solehah'. Hmm solehahkah mereka ...?

Pinjam meminjam pun berlaku dengan hebatnya di kalangan mahasiswa, ada juga yang men 'copy' ke komputer masing-masing. Kemudian timbul aduan dari salah seorang mahasiswa soleh kepada saya bahawa terdapat mahasiswa yang amat asyik dan mengulang-mengulang vcd tersebut.

Lihatlah kesannya, adakah ini dakwah ?..baca sampai ke habis, inshaAllah akan mendapat jawapannya.

Amaran Allah

Allah SWT yang menciptakan manusia sememangnya telah memberi peringatan akan hal ini apabila menyebut :-

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِى فِى قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفاً

Ertinya : Maka janganlah kamu wahai wanita, merendahkan (melembutkan) suaramu maka dibimbangi orang yang berpenyakit di hatinya beringinan jahat kepadamu, maka bercakaplah hanya dengan kata-kata yang baik ( kandngan dan tatacaranya)" (Al-Ahzab : 32)

Para ulama tafsir menyebut, suara wanita yang dilagukan adalah termasuk dari kecantikan-kecantikan (yang tidak harus dipertonton dan dipeerdengarkan kepada lelaki bukan mahram) tiada khilaf dalam hal ini ( Adwa al-Bayan, 5/10 : At-Tashil Li Ulum At-Tanzil, 3/137 ; )

Imam As-Suddi berkata : larang ini bermaksud larangan kepada kaum wanita menipiskan suaranya (lembut, lunak dan manja) apabila bercakap di hadapan khalayak lelaki. Imam Qurtubi pula mengatakan, kerana suara yang sebegini akan menjadikan orang-orang lelaki munafiq dan ahli maksiat berfikir jahat ( Tafsir Ibn Kathir, 3/483 ; Al-Jami' Li Ahkam Al-Quran, 14/177)

Berdasarkan dalil ayat ini, apa yang boleh saya fahami adalah nasheed wanita juga tergolong dalam bab yang diharamkan oleh Islam apabila ia diperdengarkan kepada lelaki yang bukan mahram. Adapun jika ia dinyanyikan oleh kanak-kanak wanita yang belum baligh atau ia dinyanyikan khas untuk para wanita. Ia adalah harus.

Suara Wanita Ketika Beribadah

Displin Islam dalam hal ini boleh dilihat dari perkara di bawah ini :-

1) Ingin Menegur Imam semasa solat,

Jika kaum wanita ingin menegur imam lelaki yang tersilap bacaan atau terlupa rakaat dan lainnya. Nabi SAW hanya membenar para wanita mengingatkan imam dengan menggunakan tepukan sahaja.

Hadithnya :-

فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لي رأيتكم أكثرتم التصفيق من رابه شيء في صلاته فليسبح فإنه إذا سبح التفت إليه وإنما التصفيق للنساء "

Ertinya : Berkata Rasulullah SAW , mengapa aku melihat kamu banyak bertepuk apabila ragu-ragu (waswas) dalam sesuatu perkara semasa solatnya. Hendaklah kamu ( lelaki ) bertasbih dan sesungguhnya tepukan itu hanya untuk wanita" ( Riwayat Al-Bukhari, no 652)

Arahan nabi untuk wanita bertepuk bagi membantu imam itu adalah bagi menjaga suaranya dari memesongkan orang lelaki yang sedang solat (Faidhul qadir, 3/281 ; Al-hawi al-Kabir, 9/17)

2) Wanita dan azan

Imam al-Jassas ketika mentafsirkan ayat dari surah al-ahzab tadi menyebut bahawa ayat ini memberi hukum bahawa wanita dilarang dari melaungkan azan terutamanya jika kemerduan suaranya dijangka mampu mengelodak hati sang lelaki ( Ahkam al-Quran, 5/229 dengan pindaan ringkas)

Demikian juga pandangan mazhab Syafie dan hanbali, dan tidak diketahui ada yang bercanggah pendapat dalam hal ini , kata Imam Ibn Quddamah, ( Al-Mughni, 2/68 )

3) Wanita menjadi imam solat kepada wanita lain atau ketika solat jahar.

Sudah tentu wanita harus untuk menjadi imam kepada wanita lain, tetapi mereka tidak dibenarkan mengeraskan bacaan quran mereka jika di tempat itu terdapatnya para lelaki yang bukan mahramnya. ( Al-Mughni , Ibn Quddamah)

Imam Ibn Hajar berkata : "jika dikatakan bahawa sekiranya wanita menguatkan bacaannya di ketika solat maka solatnya batal, adalah satu pendapat yang ada asasnya" (Fath Al-Bari, 9/509 )

Jelas bahawa suara wanita yang dilagukan atau dalam keadaan biasa apabila melibatkan soal ibadah hukumnya dilihat semakin ketat kerana dibimbangi menggangu ibdaaha wanita itu terbawa kepada kerosakan kaum lelaki yang lemah ini. Kerana itu disebutkan

فرع : صرّح في النوازل بأنّ نغمة المرأة عورة..ولهذا قال عليه الصلاة والسلام : ( التسبيح للرجال والتصفيق للنساء ، فلا يحسن أن يسمعها الرجل . )

Ertinya : Ditegaskan bahawa suara wanita yang dilagukan adalah aurat ..kerana itu Nabi SAW bersabda : Sesungguhnya tasbih untuk lelaki , dan tepukan khas untuk wanita, maka tiada harus didengari ‘tasbih' wanita oleh si lelaki" ( Syarh Fath Al-Qadir, 1/206 )

4) Suara wanita dan talbiah Haji

Ijma ulama bahawa wanita tidak mengangkat suaranya kecuali hanya setakat didengari olehnya sahaja, demikian pendapat Ato', Imam Malik, Syafie, Hanafi Awzaie ( AL-Um, 2/156 ; Al-MUghni , Ibn Quddamah, 5/16 )

Kesimpulan

Suara wanita boleh dibahagikan kepada dua jenis :-

1) Suara biasa wanita yang didengari secara jahar kepada lelaki awam ; Ia diperbezakan hukumnya di kalangan ulama. Ada yang mengharamkannya secara total, ada yang mengharuskan secara total. Ada pula yang mengharuskannya apabila dijangka tidak membawa fitnah kepada lelaki (Al-Jami' Li Ahkami Quran, 14/227 ; Ibn Qayyim, al-Hasyiah, 6/156 ; ‘Ianah at-Tolibin, Ad-Dimyati ; 3/260 ; Al-furu', Ibn Al-Mufleh, 1/372 )

2) Yang dilembutkan dengan sengaja, dimanjakan dan dimerdukan. Ianya adalah diharamkan untuk diperdengarkan kepada khalayak lelaki secara Ijma'. ( An-Nihayah, Ibn Athir, 42/2 ; Lisan al-Arab, Ibn Manzur , 73/8 ; Tafsir At-Tabari ; 3/22 ; Hasiyah At-Tohawi ; 1/161)

Maka kumpulan nashid wanita hari ini termasuk di dalam kumpulan yang kedua tanpa khilaf. Malah bukan sekadar ‘illah suara sahaja yang boleh menjadikan mereka tercebur dalam perkara haram, malah pakaian dan pergerakkan mereka di khalayak awam juga.

Kebiasaannya apabila persembahan di buat, mereka kerap bersolek-solekan dengan pakaian yang canggih manggih. Di samping itu, duduk pula di atas pentas menjadi tontotan lelaki, jika para ulama semasa menghukumkan haramnya bersanding pengantin di atas pentas dalam keadaan senyap tanpa berkata. Apatah lagi kumpulan nashid wanita yang bersolek adakala seperti pengantin ini dan melentuk-lentuk tubuh dan suaranya di hadapan lelaki bukan mahram, sudah tentu haramnya lebih besar.

" tapi ustaz, inikan alternative untuk mereka yang suka tengok penyanyi wanita yang seksi..eloklah mereka tengok kami" mungkin ini sebahagian pertanyaan penyokong kumpulan nashid wanita.

Jawapnya, benda yang haram tidak boleh dialternatifkan dengan yang haram juga.

Sebagaimana di sebut oleh dalil :-

إِنَّ اللَّهَ عز وجل لاَ يمحوا السيء بالسيء وَلَكِنْ يَمْحُو السيء بِالْحَسَنِ إِنَّ الْخَبِيثَ لاَ يمحوا الْخَبِيثَ

Ertinya : " Sesungguhnya Allah SWT tidak akan memadam yang buruk dengan buruk juga, tetapi yang buruk (haram) dipadamkan dengan yang baik (halal) Sesungguhnya yang kotor itu TIDAK boleh mensucikan yang kotor" ( Riwyaat Ahmad, 1/387 : Perawi Ahmad adalah thiqah kecuali sebahagiannya khilaf ; Majma' Az-Zawaid, 10/228 )

Justeru, tidak boleh menggantikan penyanyi wanita seksi itu dengan penyanyi nashid wanita. Kerana kedua-duanya haram buat si lelaki bukan mahramnya.

Jangan pula ada yang mendakwa kononnya ia adalah bentuk dakwah, TIDAK, Allah tidak akan menjadikan dakwah berkesan melalui perkara haram. Tiada siapa boleh mengatakan ia sengaja minum arak kerana ingin mendakwah rakanya bahawa arak itu buruk.

Nabi SAW bersabda :

إن الله لم يجعل شفائكم فيما حرم عليكم

Ertinya : "Allah SWT tidak menjadikan penyembuhan kamu melalui perkara yang diharamkanNya" ( Riwayat Al-Bukhari )

Hadith ini menjelaskan tidak boleh mengambil apa jua yang diharamkan oleh Allah SWT untuk dijadikan ubat, kerana Allah tidak akan menjadikan ubat dalam perkara yang diharamkanNya. ( Tuhfatul Ahwazi , 6/168 )

Demikianlah dakwah dan pemulihan akhlak dan jiwa manusia, Allah SWT tidak akan menjadinya perkara yang diharamkanNya (melembutkan suara hadapan bukan mahram) sebagai medium dakwah yang berkesan. Ia tidak lain hanyalah untuk komersial dan mengaut untung sahaja.

Setiap hasil untung dari jualan kaset nashid wanita dewasa ini juga tidak lain kecuali hasil yang haram menurut sepakat ulama mazhab. Kecuali jika ia khas untuk wanita dan dijual secara tertutup di majlis wanita sahaja. Persembahan juga untuk kaum wanita.

Sedarilah kumpulan nashied wanita dan penyanyi wanita yang mendakwa dakwah melalui nashid anda..Ia pasti tidak kan berjaya, usaha itu juga pastinya tidak diterima oleh Allah SWT berdasarkan dalil-dalil yang diberi.

BANTAHAN KEPADA ARTIKEL

Apabila tulisan ini mula disebar luaskan, maka terdapat suara-suara penyokong nashid wanita yang cuba mengharuskan tindakan mereka dengan memberikan satu hadith berkenaan dua orang hamab wanita yang mempersembahkan nyanyian kepada Aisyah r.a di rumah Nabi SAW.

Hadith ini adalah seperti berikut :-

عن عَائِشَةَ رضي الله عنها قالت دخل أبو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ من جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يوم بُعَاثَ قالت وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فقال أبو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رسول اللَّهِ وَذَلِكَ في يَوْمِ عِيدٍ فقال رسول اللَّهِ يا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا

Ertinya : Dari ‘Aisyah r.a berkata : Abu Bakar ( bapa Aisyah r.a ) masuk ke rumah dan dibersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu'ath , lalu asiyah berkata : Mereka berdua bukanlah penyanyi, Berkata Abu Bakar r.a : " Adakah seruling Syaitan di rumah Rasulullah SAW? Maka Rasul berkata : WAhai Abu Bakar, ini adalah hari raya, Bukahri , 1/335

Dalam riwayat lain :

عن عَائِشَةَ قالت دخل عَلَيَّ رسول اللَّهِ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ فَاضْطَجَعَ على الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ وَدَخَلَ أبو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وقال مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النبي فَأَقْبَلَ عليه رسول اللَّهِ عليه السَّلَام فقال دَعْهُمَا

ُErtinya : "dari ‘Aisyah, Rasulullah SAW masuk ke rumah dan dibersamaku dua orang jariah (hamba wanita) dari kalangan bangsa Ansar sedang menyanyi dengan kisah-kisah Ansar ketika hari Bu'ath, maka baginda terus baring dan memalingkan wajanya, maka masuk pula Abu Bakar r.a lalu menegurku sambil berkata, adakah seruling syaitan di sisi nabi SAW, maka nabi terus mendapatkannya lalu berkata : Biarkannya"

Secara ringkas, hujjah untuk mengatakan terdapat percanggahan atau harusnya nashid wanita dengan dalil ini adalah tersasar dari kebenaran kerana :-

1) Ia dipersembahkan oleh hamba wanita. Maka hukum hamba adalah berbeza dengan hukum wanita merdeka dalam banyak hukum fiqh.

2) Dua orang jariah itu digambarkan dalam banayak riwayat lain sebagai bukan penyanyi khas, yang pandai menyanyi dengan teknik menyanyi yang dikenali dengan melembutkan suara, memerdu dan melunakkannya sebagaimana penayanyi profesional. Ini disebutkan melalui nas

"وليستا بمغنيتين"

Imam An-Nawawi dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani mentafsirkannya sebagai :-

معناه ليس الغناء عادة لهما ولا هما معروفتان به

Ertinya : Maknanya, ia bukanlah nyanyian yang biasa digunakan pada masa itu, dan keduanya juga tidak dikenali pandai menyanyi (Nawawi, Syarh muslim, 6/182 : fath Al-Bari, 2/442)

3) Rasulullah juga digambar tidak turut serta menikmatinya tetapi hanya membiarkannya dinikmati oleh ‘Aisyah. Ia juga adalah di dalam rumah Nabi Saw dan bukan di khlayak ramai. Imam An-Nawawi mengulas bahawa Nabi juga disebut berpaling wajah :-

وإنما سكت النبي عنهن لأنه مباح لهن وتسجى بثوبه وحول وجهه اعراضا عن اللهو ولئلا يستحيين فيقطعن ما هو مباح لهن

Ertinya : Nabi senyap dari tindakan itu kerana ia harus BAGI WANITA, dan nabi MENUTUP DENGAN PAKAIANNYA dan berpaling wajah darinya sebagai menajuhi perkara melalaikan" ( Syarah Sohih Muslim, An-Nawawi, 6/183)

4) Takrif ‘Jariah' selain bermaksud hamba, ia juga digunakan untuk kanak-kanak wanita belum baligh. Sebagaimana disebut oleh Imam al-Aini & Imam As-Suyuti :-

قوله جاريتان تثنية جارية والجارية في النساء كالغلام في الرجال ويقال على من دون البلوغ

Ertinya : Dua orang jariah : disebutkan bagi mereka yang dibawah umur baligh ( Umdatul Qari, 6/269)

قوله جاريتان الجارية في النساء كالغلام في الرجال يقعان على من دون البلوغ

Ertinya : Jariah untuk wanita, ghulam panggilan untuk lelaki yang keduanya digunakan untuk mereka yang di bawah umur baligh. (Sindi, 3/194 : Syarhu As-Suyuti li sunan An-Nasaie, 3/197 )

Hal ini juga disebut di dalam Awnul Ma'bud :-

لأنهما جاريتان غير مكلفتين تغنيان بغناء الأعراب

Ertinya : kerana mereka berdua belum mukallaf ( belum baligh) lalu mereka menyanyikan lagu-lagu a'rab ( Awnul Ma'bud, 13/181)

Justeru, apa lagi hujjah yang boleh diguna untuk mengharuskannya?. Dharurat atau maslahat?..lupakan sahaja.

Wallahu a'lam

Sekian..

Khamis, 7 Julai 2011

TOKOH TOKOH ULAMA KELANTAN

HAJI ABDUL MALEK SUNGAI PINANG (1834 – 1934)


Tokoh guru pondok akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang seangkatan dengan Tok Mesir, Tok Ayah Kerasak, Haji Nik Mat Dagu dan Haji Ismail Pengkalan Paung. Rakan akrab Haji Abdul Latif Jalaluddin (Bilal Masjid Kayu Kota Bharu).
Nama penuhnya ialah Haji Abdul Malek bin Hasan. Lahir di Kg. Sungai Pinang, Tumpat sekitar 1834 dari kalangan keluarga yang sangat miskin. Menuntut ilmu di Patani dan kota suci Makkah selama 14 tahun. Beliau masyhur alim Quran dan kitab Jawi.
Selain mengajar al-Quran dan kitab Jawi beliau banyak terlibat dalam usaha membanteras amalan khurafat dan syirik, termasuk memuja kubur serta amalan ilmu sihir.
Di peringkat negeri pula, beliau turut tersenarai dalam panel ulama yang dijadikan pakar rujuk oleh Sultan Mansor Ibn Sultan Ahmad (dekad 1890-an) dalam menguatkuasakan undang-undang Islam seperti hukuman hudud kepada pencuri dan pembunuh (diarak keliling pekan), hukuman ta’zir kepada orang yang tidak berpuasa dan tidak menutup aurat (dilumur belaking).
Kebanyakan murid-murid Tuan Guru Haji Abdul Malek diberkati Allah dengan ilmu mereka serta berjaya melahirkan barisan pendidik pelapis pada zaman masing-masing. Antara murid-murid kenamaannya : Tok Jerulong @ Haji Mohd. Said Muhammad, Haji Samat Hasan Padang Chenok, Haji Che Mat Taib Pasir Pekan Hilir, Haji Ismail Musa Temangan, Haji Wan Abdullah Kg. Chap/Sungai Pinang, Wak Haji Khatib Ahmad Bemban/Binjai, Tok Kedah @ Haji Idris Penggawa Kangkong, Haji Mahmud Ali (Imam Kangkong), Haji Daud Saamah (bapa kepada Tuan Guru Haji Saad Kangkong), Haji Mohd.
Akib Ismail Kg. Kelar, Tuan Guru Haji Ali Pulau Pisang, Tuan Guru Haji Abdullah Senik (pengasas Pondok Padang di Pasir Mas), Tuan Guru Haji Wan Ahmad Abdul Halim (pengasas Pondok Padang Jelapang), Tuan Guru Haji Abdul Rahman Osman (pengasas Pondok Selehong), Tuan Guru Haji Yusoff Abdul Rahman (pengasas Pondok Pulau Ubi), Haji Ibrahim Tok Raja (Mufti Kerajaan Kelantan) dan Haji Seman Sering (kemudian lebih terkenal dengan nama Syeikh Osman Jalaluddin al-Kalantani).
Datuk kepada Dato’ Dr. Nik Safiah Karim (Profesor Adjung di Universiti Malaya) ini kembali ke rahmatullah di Sungai Pinang pada malam Rabu 11/12 Ramadhan 1353 bersamaan 18 Disember 1934.



HAJI ABDULLAH TAHIR BUNUT PAYONG (1897 – 1961)


Salah seorang ulama besar negeri Kelantan yang masyhur alim dalam ilmu fiqh. Pendiri Pondok Bunut Payong yang terkenal ke seluruh Semenanjung itu. Seangkatan dengan Haji Ali Pulau Pisang, Haji Yaakub Lorong Gajah Mati, Haji Saad Kangkong, Haji Ahmad Batu Tiga Repek, Haji Saleh Pedada dll. Dilahirkan di Kg. Sireh, Kota Bharu pada 20 Muharram 1315 bersamaan 20 Jun 1897, Bapanya, Haji Ahmad bin Mohd. Zain yang berasal dari Kg. Chepa, Kedai Lalat pernah berkhidmat sebagai Imam Tua di Masjid Langgar, Kota Bharu (berkhidmat sehingga 1920).
Sesudah berguru selama 15 tahun dengan Tok Kenali, beliau belayar ke tanah suci Makkah mendalami pengajiannya. Antara lain mengikuti kuliah Tuan Mukhtar Bogor, Syeikh Said al-Yamani, Syeikh Mohd. Ali al-Maliki dan beberapa tokoh yang lain lagi. Sekembali ke Kelantan, beliau diminta menyertai kumpulan tenaga pengajar Halaqat Kitab di Masjid Muhammadi, Kota Bharu.
Bagaimanapun, khidmatnya tidak lama kerana pada 1931, beliau memulakan kegiatan keguruannya sendiri di Bunut Payong yang diberi nama Madrasah Ahmadiah. Madrasah ini kemudian terkenal ke seluruh pelosok Semenanjung Melayu sebagai pusat pengajian pondok yang berprestasi tinggi di Kelantan. Di Pondok Bunut Payong inilah Tuan Guru Haji Abdullah Tahir mengajar kitab hingga ke akhir hayatnya. Beliau terkenal sebagai seorang tok guru yang tekun mengajar serta mengamalkan disiplin diri yang keras lagi tegas.
Kerana kegigihannya yang sedemikian maka tidak peliklah jika Pondok Bunut Payong berjaya melahirkan ramai murid berilmu tinggi seperti Hj. Husain Rahimi, Hj. Nik Man Sungai Budor, Hj. Abdul Aziz Pasir Tumboh, Hj. Ismail Padang Lepai, Hj. Abdullah Kok Lanas, Hj. Omar Kubang Bemban, Hj. Abdul Rahman Slow Machang, Hj. Wook Lubok Chekok, Hj. Noor Teliar, Hj. Saulaiman Siram, Hj. Daud Bukit Bunga, Hj. Yaakub Kelong, Hj. Ghazali Pulai Chondong, Hj. Zakaria Selising, Hj. Osman Perlis, Hj. Ahmad Kodiang, Hj. Yahya Joned Gurun, Hj. Ibrahim Bongek, Hj. Abdul Wahid Sungai Udang, Hj. Husain Umbai, Hj. Ahmad Relai, Hj. Hasanuddin Berhala Gantang, Hj. Ismail Phuket, Hj. Ghazali Mundok.
Kerana ketokohannya juga beliau dilantik menganggotai Jemaah Ulama Majlis Agama Islam Kelantan beberapa penggal (seawal 1932). Kematian Fuqaha’ ini pada pukul 7.20 pagi Selasa 4 Rabiulawal 1381 bersamaan 15 Ogos 1961 menyebabkan negeri Kelantan kehilangan seorang tokoh ilmuan yang menerangi budaya ilmu dan dakwah Islamiahnya.


HAJI ALI PULAU PISANG (1899 – 1968)



Salah seorang guru pondok pertengahan abad ke-20 yang paling ternama di Kelantan. Murid harapan Tok Kenali terkanan yang mewarisi ilmu tatabahasa Arabnya. Seangkatan dengan Haji Abdullah Tahir Bunut Payong, Haji Yaakub Lorong Gajah Mati, Haji Saad Kangkong, Haji Awang Lambor dan Haji Awang Serendah. Rakan akrab Ayah Chik @ Lebai Omar Kubang Tuman.
Nama penuh tokoh ulama’ kelahiran mukim Pulai Pisang, daerah Badang, Kota Bharu ini ialah Haji Mohd. Ali Solahuddin bin Awang. Ibunya bernama Wan Kalsom. Beliau adalah anak ketiga daripada 9 beradik. Selain Tok Kenali, guru-guru tempatan lainnya termasuk juga Haji Abdul Malek Sungai Pinang, Haji Yusoff Sungai Pinang (kemudian lebih dikenali dengan nama Tok Pulai Ubi), Tok Kemuning (di Pulau Kundor), Haji Omar Sungai Keladi, Pak Chik Musa, Haji Yaakub Legor dan Haji Ahmad Hafiz. Namanya “timbul” kerana kealimannya dengan ilmu soraf (cabang tatabahasa Arab) sehingga digelar “Tok Sibaweh”.
Tidak hairanlah jika Madrasah al-Falah (nama rasmi Pondok Pulau Pisang) yang dibangunkan beliau di Telok Chekering, Pulau Pisang senang menjadi tarikan para pelajar pondok. Sementelahan pula seawal 1932 lagi, Haji Ali dipilih menganggotai Jemaah Ulama’ Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK) yang dipengerusikan oleh Dato’ Haji Ahmad Maher al-Azhari (Mufti Kerajaan Kelantan).
Berikutan dengan kematian Haji Saad Kangkong (1943), beliau dipinjam sebagai guru agama Kelas Khas di Jami’ Merbau al-Ismaili (pusat pengajian ilmu-ilmu Islam berbentuk sekolah pertama di Kelantan) yang menampung ramai pelajar elit dari dalam dan luar Kelantan pada awal dekad 1940-an; berkhidmat sehingga 1 Mac 1946.
Selepas itu kembali semula ke kampus Masjid Muhammadi. Antara murid-murid jempolannya Dato’ Haji Ismail Yusoff (Mufti Kerajaan Kelantan), Ustaz Dato’ Yusoff Zaki Yaakub (pengarang terkemuka dan penterjemah Tafsir fi Zilal al-Quran, Ustaz Ismail Yusoff (Imam Waktu Masjid Muhammadi), Ustaz Wan Mohd. Saghir Wan Konok Pasir Pekan, Ustaz Azhari Abdul Rahman Melor, Hj. Abdul Aziz dan Hj. Mustafa Pasir Tumboh, Hj. Zakaria Selising, Hj. Daud Geting, Hj. Daud Perakap, Hj. Nik Daud Tanah Merah, Hj. Wan Abdul Latif Jerteh, Hj. Abdul Wahid Sungai Udang (Melaka), Hj. Abdul Rashid Bagan Datok Perak dan Hj. Abdullah Abbas Nasution Tanjung Pauh (Kedah).
Ulama’ kesayangan Dato’ Mufti Haji Ahmad Maher ini kembali ke rahmatullah di kediamannya di Kg. Limau Putenge, Pulau Pisang pada pukul 7.05 pagi Khamis 11 Rejab 1388 bersamaan 3 Oktober 1968 dengan meninggalkan dua buah karya bercetak yang mengupas tentang ilmu soraf dan terjemahan Surah Yasin.


HAJI AWANG LAMBOR (1900 – 1963)


Salah seorang guru pondok yang paling berpengaruh di Jajahan Tumpat pada pertengahan abad ke-20 Masihi. Seangkatan dengan Haji Mohd. Saleh Pedada, Haji Yaakub Kelong, Haji Daud Geting dan Haji Pak Man Berangan. Nama sebenar tokoh ulama’ yang dilahirkan di Kg. Padang Merbau, Lambor, Wakaf Bharu sekitar 1900 ini ialah Haji Abdullah bin Haji Omar.
Bapanya Haji Omar bin Haji Abdul Rahman – lepasan pondok di Patani – ialah seorang Khatib di surau mukim Jal Kecik, juga adik kepada Haji Yusoff bin Haji Abdul Rahman, Imam Tua mukim Meranti di Jajahan Pasir Mas. Datuknya, Haji Abdul Rahman yang berasal dari Kota Bharu Reman adalah Imam perintis di surau mukim Jal Kecik. Beliau sendiri bersepupu dengan Hajjah Zainab bt. Hj. Yusoff yang kemudiannya menjadi isteri kepada Tuan Guru Haji Mohd. Zain Meranti, guru awalnya.
Seorang sepupunya lagi ialah Haji Ahmad bin Haji Yusoff, Imam mukim Meranti yang meninggal dunia pada 21 Ogos 1961. Juga bertalian dua pupu dengan Tuan Guru Haji Abdullah bin Haji Ali, Kg. Jalah, Bunut Susu (meninggal 2 Ogos 1931). Manakala Pak Chu Haji Mat Saman bin Haji Abu, guru al-Quran ternama di kawasan Lambor/Kubang Batang sebelum Bah Air Merah (1926) itu pula ialah abang iparnya. Kerana latar belakang keluarga yang sedemikian maka tidak hairanlah jika beliau sudah mula terdedah kepada pengajian asas agama sejak kecil lagi.
Selepas menuntut beberapa ketika dengan Tok Kenali dan Tok Selehong beliau pergi menamat di kota Makkah selama 9 tahun lagi. Barisan gurunya termasuk Syeikh Omar Hamdan, Tuan Mukhtar Bogor, Tok Senggora, Tok Shafie Kedah, Pak Cik Wan Daud Patani, Haji Sulong Patani, Pak Da Ail Patani dan Syeikh Muhammad bin Syeikh Nik Dir Patani. Pada 1934, pulang ke Kelantan iaitu mendirikan Pondok Lambor yang telah melahirkan tokoh-tokoh seperti Haji Mat Nor Rushdi Haji Awang Gagah (pengasas Pondok Tasat di Legor, Thailand).
Haji Wan Mat Wan Saleh (pendiri Pondok Paya Ular di Bunut Susu), Haji Mohd. Nor Haji Abdullah (guru Pondok Teliar), Pak Su Che Wil Haji Abdul Rahman (Imam Tua mukim Delima), Pak Su Loman (Imam Bunut Susu), Haji Yaakub Awang, Kg. Jelutong, Gunong, Bachok dan Haji Che Wil Abdul Latif, Kg. Meranti Besar. Tuan Guru Haji Awang Lambor berpulang ke rahmatullah pada pukul 3 petang Sabtu 27 Zulkaedah 1382 bertepatan 20 April 1963 dan dikebumikan di tanah perkuburan Islam Pondok Lambor, Wakaf Bharu.



HAJI DAUD BUKIT ABAL (1906 – 1976)


Syeikh tarekat Ahmadiyah terpenting di rantau ini selepas generasi Mufti Haji Wan Musa/Sidi Muhammad al-Azhari/Syeikh Mohd. Said Linggi. Adik kandung Tuan Guru Haji Mat Limbat/Gong Kemudu. Nama penuh ahli sufi ini ialah haji Daud Shamsuddin bin Haji Omar al-Libadi. Lahir di Kg. Kerasak, Limbat, Kota Bharu sekitar 1903.
Ibunya, Wan Halimah bt. Hj. Ismail ialah adik kepada Tuan Guru Haji Wan Ahmad bin Haji Ismail (lebih terkenal dengan panggilan Haji Awang Limbat). Manakala bapanya, Haji Omar bin Haji Taib berasal dari Kg. Mentera, Bukit Marak. Antara guru-guru awalnya : Haji Ahmad Limbat, Haji Sulaiman Kubang Kachang, Tok Kenali, Tok Seridik, Haji Omar Sungai Keladi, Haji Nik Abdullah Khatib, Yaakub Legor dan Maulana Tok Khurasan.
Di kota Makkah pula, antara lain beliau mendalami pengajiannya dengan Syeikh Omar Hamdan, Syeikh Mohd. Ali al-Maliki, Syeikh Hasan al-Masyat, Syeikh Hasan al-Yamani, Syeikh Muhammad al-Azhari dan Syeikh Mohd. Shafie Kedah (Tok Shafie). Kedua-dua penama akhir inilah yang banyak mencurahkan amalan tarekat Ahmadiyah (termasuk ilmu ihsanuddin) kepadanya. Setelah kembali dari Makkah pada awal 1941, beliau berkebun sambil mengajar agama dibeberapa tempat.
Akhir sekali pulang menetap di Bukit Abal, Pasir Puteh lalu berusaha menghidupkan semula sekolah pondok peninggalan bapa mertuanya, Haji Awang Limbat. Peringkat awalnya kurang mendapat sambutan – mungkin kerana namanya belum terserlah. Hanya selepas 1968 barulah majlis ilmunya mula mendapat perhatian ramai. Kupasan ilmu usuluddin, furu’uddin (fiqh 4 mazhab) dan ihsanuddin yang menjurus kepada pengalaman zikir tarekat kemudiannya terbukti sangat popular.
Untuk kemudahan murid-muridnya beliau mengulang cetak karyanya sendiri, iaitu Risalat al-Aqaid wa al-Fawaid (cetakan pertama 1956); dan pada awal 1970-an diedarkan pula stensilan Risalat al-Tasawuf yang sempat disusun setakat 8 siri sahaja kerana masalah kesihatannya. Tuan Guru Haji Daud meninggal dunia di Bukit Abal ketika pondoknya sedang berkembang maju, iaitu pada pukul 2 petang Ahad 1 Safar 1396 bersamaan 1 Februari 1976.
Warisan ilmunya kini disebarkan pula oleh tokoh-tokoh seperti Tuan Guru Haji Ghazali Tunjong, Pak Da Awang Kampung Pek, Ustaz Mustafa Muhammad al-Ahmadi (pengarang buku Mengenal Diri dan Wali Allah yang sangat popular itu). Ustaz Wan Hasan Muhammad Bukit Tanah (ahli Jemaah Ulama MAIK), Drs. Abdul Rahman Haji Ahmad (Timbalan Ketua Pengelola Dakwah Halaqat Negeri Kelantan) dan Prof Dr. Hamdan Hassan (Universiti Brunei Darussalam).


HAJI ISMAIL PONTIANAK (1882 – 1950)


Tokoh ulama’ perantau. ‘Khatib Masjib Muhammadi dekad 1940-an yang paling popular. Lahir sezaman dengan Mufti Haji Idris , Dato’ Perdana Haji Nik Mahmud, Tok Seridik dan Syeikh Osman Jalaluddin al-Kalantani. Nama penuhnya ialah Haji Ismail bin Abdul Majid, tetapi lebih dikenali dengan panggilan Haji Ismail Pontianak kerana lamanya beliau berkelana dan bermastautin di Pontianak (Kalimantan Barat), bahkan pernah dilantik menjadi Mufti Kerajaan Pontianak – berkhidmat selama suku abad (1910 – 1935).
Meskipun demikian, Haji Ismail akhirnya kembali menetap di Kelantan. Kerjaya awal tokoh lepasan Makkah ini dalam perkhidmatan Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK) bermula pada 1 Januari 1940 apabila beliau dilantik menjadi guru kitab di Jami’ Merbau al-Ismaili dengan gaji permulaan $47.50 sebulan. Selanjutnya, beliau dipilih menganggotai Jemaah Ulama’ MAIK (10 April 1940 hingga 8 Februari 1947).
Selain daripada itu, dilantik sebagai Penterjemah Arab (semenjak 1 Julai 1941). Zaman gemilang perkhidmatannya bermula pada 1 Mei 1943 apabila beliau dilantik menjadi Khatib di Masjid Muhammadi, Kota Bharu. Berbeza dengan tok-tok khatib sebelumnya yang masih terikat dengan nota atau teks Arab sepenuhnya, Haji Ismail memperkenalkan khutbah tanpa teks di tangan. Kepetahan beliau menyampaikan khutbahnya secara spontan, dalam bahasa ibunda pula, terbukti sangat berkesan.
Walaupun khutbahnya agak panjang, tetapi ahli jemaah tidak bosan. Ini kerana beliau bijak menyusun kata, pandai menyelit ungkapan bahasa “segar”, bersesuaian dengan suasana yang mampu membuat sidang hadirin tidak jemu atau mengantuk. Beliau bukan sahaja popular di kalangan ahli jemaah dan anak-anak muridnya, malah sangat disenangi oleh Sultan Ibrahim sehinggalah dilantik menjadi guru agama merangkap Imam di Istana baginda.
Khatib panutan ini meninggal di rumahnya, Jalan Pengkalan Chepa, Kota Bharu pada tengah malam Isnin 18 Muharram 1370 bersamaan 19 Oktober 1950 dan dikebumikan di Kg. Labok, Machang – kampung asalnya. Satu-satunya pusaka penulisan beliau yang diketahui sempat dicetak edar ialah Kitab Pedoman Kemuliaan Manusia (cetakan pertama 1938), setebal 320 muka iaitu sebuah karya “bunga rampai”.


HAJI SAAD KANGKONG (1893 – 1943)


Imam waktu perintis di Masjid Besar Kota Bharu. Guru kitab Arab paling muda di Halaqat Kitab Masjid Muhammadi. Rakan setugas Haji Yaakub Legor dan Haji Yaakub Lorong Gajah Mati.
Nama penuhnya ialah Haji As’ad bin Haji Daud, berasal dari Kg. Kangkong, Pasir Mas.
Beliau tidak jemu-jemu belajar dan mengajar, semenjak muda sampai tua. Guru-guru utamanya termasuk Tok Kenali, Haji Ahmad Hafiz, Mufti Haji Wan Musa dan anaknya, Haji Nik Abdullah. Juga disebut-sebut pernah menuntut di Makkah selama tujuh tahun.
Apabila pentadbiran Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK) memperkenalkan jawatan Imam Sembahyang Waktu di Masjid Besar Kota Bharu (sekarang Masjid Muhammadi), beliau terpilih sebagai penyandang pertamanya – berkhidmat mulai 19 Jun 1927 hingga 31 Disember 1930, bergaji $15 sebulan.
Sepanjang dasawarsa 1930-an beliau bertugas sepenuh masa sebagai guru kitab Arab di Masjid Muhammadi (nama rasmi Masjid Besar Kota Bharu), bergaji $30 sebulan dan meningkat ke $40 apabila bertukar ke Jami’ Merbau al-Ismaili (sejak awal 1941).
Haji Saad menggalakkan murid-muridnya supaya membaca akhbar dan majalah bagi menambah ilmu pengetahuan. Antara murid-murid kenamaannya termasuk Dato’ Haji Ismail (Mufti Kerajaan Kelantan), Haji Abdul Rahman Lubok Tapah, Haji Nik Man Sungai Budor, Haji Awang Beta, Haji Yusoff Tasek Berangan, Haji Nik Daud Tanah Merah, Haji Osman Padang Siam, Haji Ibrahim Apa-Apa, Haji Ismail Kg. Talak, Haji Che Mat Padang Upeh, Haji Yaakub Wakaf Bharu, Haji Abdullah Kg. Laut, Hj. Abdullah Aur China, Haji Abdullah Gemuk, Hutan Pasir, Hj. Mohd. Amin Tok Bachok (Qadhi), Haji Mustapha Idris (pesara Timbalan Qadhi Besar Kelantan), Ustaz Haji Wan Ahmad Kg. Menuang, Haji Yaakub Kg. Sireh (Pegawai Agama MAIK), Haji Abdul Shukor Kubang Gendang (kemudian menjadi menantunya), Haji Abdul Wahid Sungai Udang (Melaka), Haji Husain Hafiz Umbai (Melaka), Ahmad Zaini Haji Tahir Asahan (Sumatera) dan Haji Shuaib Ahmad Pulau Kerengga, Marang (Terengganu).
Sebagaimana rakan-rakan seperjuangannya beliau turut dilantik menjadi Ahli (Mesyuarat) Majlis Agama Islam Kelantan (1940).
Tuan Guru Haji Saad Kangkong ditakdirkan meninggalkan dunia secara mengejut di rumahnya sekitar jam 11.00 pagi 22 Jamadilakhir 1362 bersamaan 26 Jun 1943.
Bakat beliau dalam kegiatan dakwah kini diwarisi cucunya, Dr. Abdul Hayei Abdul Shukor (pensyarah Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya).


HAJI YAAKUB LORONG GAJAH MATI (1895 – 1956)


Salah seorang guru agama paling terkemuka di Kota Bharu pada suku kedua abad ke-20 Masihi. Murid kanan Tok Kenali yang sebarisan dengan Haji Saad Kangkong, Haji Ali Pulau Pisang, Haji Abdullah Tahir Bunut Payong, Haji Mat Jebeng, Haji Ahmad Batu Tiga Repek dll.
Nama lengkap tokoh ulama yang berkediaman di Lorong Gajah Mati, Kota Bharu ini ialah Haji Yaakub bin Haji Ahmad.
Kerjaya awalnya bermula sebagai kerani di Mahkamah Syariah Kota Bharu dan pernah ditugaskan mengambil peringatan mesyuarat Jemaah Ulama Majlis Agama Islam Kelantan (MAIK). Mulai 1 April 1922, dilantik sebagai guru di Madrasah Muhammadiah (Sekolah Melayu Majlis) dengan gaji permulaan $20 sebulan. Selepas 15 tahun (mulai 1 Julai 1938), bertukar menjadi guru kitab di Masjid Muhammadi (nama rasmi Masjid Besar Kota Bharu) yang berperanan sebagai pusat pengajian pondok terpenting di Kelantan ketika itu. Gajinya meningkat ke $28 sebulan. Seterusnya mulai 1 Januari 1940, bertukar ke Jami’ Merbau al-Ismaili (nama awal Maahad Muhammadi) apabila pengajian kitab di Masjid Muhammadi berpindah ke situ. Gaji bulanannya sejak awal 1940 ialah $34 dan beliau kekal berkhidmat di situ sehingga 1945.
Antara murid-murid harapannya tersenarailah nama-nama seperti Tuan Guru Dato’ Hj. Nik Abdul Aziz (Menteri Besar Kelantan sekarang), Dato’ Hj. Ismail Yusoff (bekas Mufti Kerajaan Kelantan), Tuan Guru Engku Hj. Syed Hasan Lemal, Tuan Guru Hj. Awang Nuh Beris Kubor Besar, Ustaz Wan Mohd. Saghir Kg. Baru, Pasir Pekan, Tuan Guru Hj. Abdul Wahid Sungai Udang (Melaka) dan Tuan Guru Hj. Ahmad Osman, Hutan Palas, Bukit Keplu, Kodiang (Kedah).
Kewibawaan dan pengalaman luasnya sedemikian melayakkan beliau dilantik menganggotai Jemaah Ulama MAIK (seawal 1932) beberapa penggal.
Pada mulanya beliau termasuk pengikut Sidi Muhammad al-Azhari (pengembang tarekat Ahmadiyah di negeri Kelantan), tetapi kemudian mengubah sikap, iaitu setelah beliau berdamping dengan Maulana Tok Khurasan, guru perintis ilmu hadith di Kelantan.
Tuan Guru Haji Yaakub meninggal dunia di Kota Bharu pada waktu fajar hari Sabtu 6 Jamadilawal 1376 bersamaan 8 Disember 1956 dengan meninggalkan, antara lain, tiga orang putera yang dikenali ramai :-
• Dato’ Haji Che Husain (ahli perniagaan) – pewakaf Masjid al-Muttaqin di Lundang dan Masjid al-Ihsan di Dusun Muda, Kota Bharu;
• Hj. Hasan (pengasas Pustaka Aman Press, Kota Bharu);
• Ustaz Yusoff Zaky @ Dato’ Sri Setia Raja (pengarang terkemuka, pengasas Pustaka Dian, Kota Bharu).


MUFTI HAJI WAN MUSA (1875 – 1939)


Ahli tasawuf berpendirian tegas. Bergiat sezaman dengan Tok Selehong, Haji Che Leh Kg. Laut, Tengku Mahmud Zuhdi (Syeikhul Islam Selangor). Putera kedua Tuan Tabal dan adik kandung Mufti Haji Wan Muhammad, juga abang kepada Haji Nik Abdullah Khatib. Nama penuhnya ialah Haji Wan Musa bin Haji Abdul Samad. Bapanya, Haji Abdul Samad bin Mohd. Saleh al-Kalantani (lebih masyhur dengan gelaran Tuan Tabal) ialah penyebar perintis tarekat Ahmadiyah di rantau ini, juga tergolong ulama pengarang yang banyak menulis kitab Jawi – terpentingnya Minhat al-Qarib (1883).
Haji Wan Musa adalah seorang rakan seperguruan Tok Kenali, terkenal dengan fikiran-fikiran yang berani tetapi kontroversi. Namun, beliau terpilih dan ditawarkan jawatan Mufti Kerajaan Kelantan selepas pengunduran Mufti Haji Wan Ishak pada awal 1909.
Sikapnya yang tegas serta pandangan-pandangannya yang cenderong kepada reformasi telah menyeret beliau ke kanchah pertelagahan pendapat dengan tokoh-tokoh “Kaum Tua” seperti Haji Omar Sungai Keladi, Haji Ibrahim Tok Raja, Haji Ismail Kemuning dan Haji Ahmad Abdul Mannan. Di luar Kelantan pula, beliau pernah berpolemik dengan Tengku Mahmud Zuhdi al-Fatani – penulis Tazkiyat al-Anzar (1920) yang menghujah balas pendapat Haji Wan Musa.
Antara persoalan kontroversi yang berbangkit sehubungan dengan pendapat beliau ialah isu membina masjid dengan harta zakat fitrah, hal muqaranah sembahyang, talqin, kain telekung sembahyang, talfiq mazhab, pemindahan harta wakaf/pusaka dan perbahasan jilatan anjing. Keyakinannya kepada pendapat-pendapat yang pernah diluahkannya serta pertelingkahannya yang lama dengan tokoh-tokoh “Kaum Tua” menyebabkan beliau melepaskan jawatan Mufti pada pertengahan 1916.
Sebagai tokoh berwibawa, halaqat pengajian kitab di suraunya di Jalan Merbau, Kota Bharu berjaya melahirkan ramai pendakwah pelapis yang mampu mengajar baik di sekolah pondok mahupun di sekolah moden. Mereka termasuk Hj. Saad Kangkong, Pak Su Wan Adam Kg. Laut, Hj. Mohd. Zain Meranti, Hj. Nik Mat Alim Pulau Melaka, Hj. Abdul Mannan Sumatera, Hj. Abdul Wahid Melaka, Hj. Ahmad Perak dan Hj. Ayyub Kemboja. Putera-putera beliau sendiri pun tergolong alim ulama’ yang disegani. Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan ialah Hj. Nik Abdullah, Hj. Nik Mat Nazir, Hj. Nik Mud, Hj. Nik Leh dan Hj. Nik Mat Din. Pusaka lainnya ialah dua risalah terjemahan yang selesai disusun seawal 1906 lagi.
Mufti Haji Wan Musa kembali ke alam baka pada 3.00 petang Sabtu 24 Zulkaedah 1357 bertepatan 14 Januari 1939 dan dikebumikan di tanah perkuburan Kg. Banggol, Jalan PCB, Kota Bharu.

SHEIKH OSMAN JALALUDDIN AL-KALANTANI (1880 – 1952)


Salah seorang guru pondok dan ulama’ pengarang tersohor di Semenanjung Melayu pada suku kedua abad ke-20 Masihi. Seangkatan dengan Tok Seridik, Haji Ismail Pontianak, Haji Omar Banggol Kulim, Dato’ Perdana, Haji Mat Jebeng. Beliau bukan sahaja terkenal di Kelantan dan Pulau Pinang, tetapi juga terbilang di Makkah.
Nama penuh tokoh ulama kelahiran Kg. Panjang, daerah Sering di sempadan jajahan Kota Bharu/Bachok pada penghujung 1297H/1880M ini ialah Haji Osman bin Muhammad. Lantaran itu pada peringkat awalnya beliau lebih dikenali dengan panggilan Haji Seman Sering.
Beliau termasuk dalam kumpulan murid kesayangan Tok Kenali. Juga pernah berguru dengan Haji Jamaluddin Perupok dan Haji Abdul Malek Sungai Pinang. Di Makkah pula, beliau sering mendampingi Tuan Mukhtar Bogor (Syeikh Mohd. Mukhtar bin Atarid) yang ternama itu.
Namanya mula “timbul” selepas kejayaan beliau mendirikan Madrasah Manabi’ al-Ulum (1932) di Penanti, Bukit Mertajam. Madrasah ini kemudiannya muncul sebagai pusat pengajian pondok yang paling maju di Seberang Perai, khususnya pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an.
Sebagai pendidik yang dedikasi beliau banyak menghasilkan karya sendiri dan terjemahan. Syeikh Osman bukan sahaja berhati-hati dalam menghasilkan sesuatu karangan, tetapi juga selalu memilih topik yang berkait rapat dengan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Kitab al-Durrat al-Nafi’ah (Alamat Kiamat) karangannya meletakkan beliau sebagai sasterawan Islam yang berpandangan jauh kerana ia dianggap buku berbahasa Melayu paling terperinci membicarakan perihal tanda-tanda dunia hampir kiamat.
Di samping itu Syeikh Osman kerap berulang-alik ke Makkah dan diberi kepercayaan mengajar di Masjid al-Haram. Sebab itu muridnya ramai. Mereka termasuk Hj. Abdul Rahman Sungai Durian, Hj. Abdul Rahman Lubok Tapah, Hj. Abdullah Lati, Hj. Abdullah Kg. Laut, Hj. Hassan Ketereh, Hj. Abu Bakar Tiu, Hj. Mohd. Ibrahim Akibi Pulau Pinang, Hj. Ismail Merbok, Hj. Husein Umbai, Hj. Abdul Ghani Kubang Bemban dan antara yang masih ada lagi ialah Ustaz Abdul Kadir Kamaluddin (lahir 1921), Ketapang Tengah, Pekan, Pahang.
Tokoh yang amat mementingkan istiqamah dan disiplin diri ini ditakdirkan meninggal di tanah suci Makkah waktu fajar hari Jumaat 30 Zulhijjah 1371 bersamaan 19 September 1952.

TOK KENALI (1870 – 1933)


Tokoh ulama Kelantan paling masyhur, malah termasuk antara ulama besar Semenanjung Melayu. Sezaman dengan Tuan Husein Kedah, Pak Wan Sulaiman (Syeikhul Islam Kedah), Haji Abdullah Fahim (Mufti Pulau Pinang), Haji Abu Bakar Alim (Muar), Haji Mat Shafie Losong (Terengganu) dll. Guru pondok yang sangat dihormati, bahkan hingga sekarang pun namanya masih menjadi bualan dan disebut ramai.
Nama sebenar tokoh pendidik yang dilahirkan di Kg. Kenali, Kubang Kerian, Kota Bharu pada 1287H/1870M ini ialah Haji Mohd. Yusoff Ahmad.
Menuntut di Makkah selama 22 tahun (1305H – 1327H). Sangat alim dalam ilmu tatabahasa Arab (nahu/soraf), malahan beliaulah yang merintis kemasukan mata pelajaran ini ke dalam kurikulum pengajian pondok (sebelum ini, tertumpu pada usuluddin, fiqh dan tasawuf sahaja).
Walaupun Tok Kenali tidak meninggalkan karya tulis yang besar seperti Tuan Padang, Tuan Tabal dan Tok Wan Ali Kutan, namun beliau berjaya melahirkan satu angkatan ulama pelapis paling berwibawa – bukan sahaja di negeri Kelantan, tetapi juga di luar Kelantan.
Antara murid-murid jempolannya termasuklah : Hj. Mat Jebeng (kemanakannya), Hj. Che Mat Padang Mengkali, Lebai Deraman Pasir Mas, Hj. Seman Sering (Syeikh Osman Jalaluddin al-Kalantani), Hj. Yaakub Lorong Gajah Mati, Hj. Abdul Kadir Melor, Hj. Abdullah Tahir Bunut Payong, Hj. Yusoff Padang Bemban, Hj. Awang Lambor, Dato’ Hj. Ahmad Maher al-Azhari, Hj. Ali Pulau Pisang, Hj. Abdul Majid Kayu Rendang, Hj. Mat Pauh, Hj. Awang Serendah, Hj. Daud Bukit Abal, Hj. Awang Beta, Hj. Hamzah Padang Bemban, Hj. Ismail Perol, Dato’ Hj. Ismail Yusoff, Hj. Abdul Rahman Lubok Tapah, Hj. Hasbullah Bot dan Hj. Nor Bot. Manakala dari luar Kelantan pula tersenarai pula nama-nama seperti Hj. Wan Abdul Latif Jerteh, Hj. Zainal Abidin Dungun, Dato’ Hj. Hasan Yunus al-Azhari (Menteri Besar Johor), Dato’ Hj. Abdul Rahim Yunus (Mufti Kerajaan Johor), Hj. Abdul Wahid Osman Sungai Udang, Hj. Ibrahim Bongek Rembau, Syeikh Mohd. Idris al-Marbawi al-Azhari Kuala Kangsar, Hj. Osman Bukit Besar, Hj. Abdullah Abbas Nasution Jitra, Hj. Bahauddin Sumatera Jeneri, Hj. Hasan Lampung, Hj. Yaakub Legor dan Tok Lata (Patani).
Di samping itu, dua orang putera Tok Kenali sendiri – Tuan Guru Hj. Ahmad dan Syeikh Mohd. Saleh Kenali (menetap di Makkah) – juga tergolong ulama dan pendakwah yang berjasa besar.
Nyatalah rumusan yang menyebut Kelantan sebagai “Serambi Mekah” itu sangat terkait dengan kehebatan dan kemasyhuran nama Tok Kenali.
Tok Kenali kembali ke rahmatullah di kediamannya pada pukul 7.30 pagi Ahad 2 Syaaban 1352 bertepatan 19 November 1933 dan dikebumikan di Kubang Kerian.



TOK SELEHONG (1872 – 1935)


Tokoh Guru Pondok paling terkemuka di Jajahan Tumpat selepas zaman Haji Abdul Malek Sungai Pinang. Seangkatan dengan Tok Kenali, Tok Padang Jelapang, Tok Bachok, Tok Seridik dan Tok Kemuning. Nama sebenarnya ialah Haji Abdul Rahman bin Haji Osman. Kadang-kadang dipanggil juga dengan nama Haji Abdul Rahman Syair atau Tok Syair kerana kepandaiannya mengarang syair.
Seorang daripada guru awalnya tentulah Haji Abdul Malek Sungai Pinang yang berdekatan dengan kampungnya. Kemudian menyambung belajar di Pondok Cha-ok, Patani berguru dengan Tok Cha-ok @ Haji Abdullah bin Mohd. Akib. Akhir sekali pergi mendalami pengajian di kota Makkah – berguru dengan Pak Chik Wan Daud Patani, Tuan Mukhtar Bogor, Tok Shafie Kedah dan ramai lagi.
Selepas 18 tahun bermukim di tanah suci Makkah, pulang ke tanah air (1921) lalu mengasas pusat pengajian pondok sendiri di pinggir Sungai Selehong. Di pondok inilah beliau mengajar dan mengembangkan pondoknya yang sangat dikenali ramai pada zaman itu. Bidang ilmu yang sangat ditumpukannya ialah ihsanuddin atau tasawuf dengan Syarh Hikam Ibn Ata’Allah sebagai teks utama.
Tok Guru Selehong masyhur sebagai ahli sufi yang zahid. Bagi tujuan supaya hatinya tidak tertambat kepada dunia, beliau menggali sebuah lubang khas dalam kawasan tanah perkuburan Islam berhampiran Pondok Selehong yang dijadikannya semacam kamar khusus tempat beliau beribadat dan bersuluk. Hobi tok guru yang pandai bersilat ini pun agak aneh.
Beliau bukan sahaja sering keluar memikat ikan dan berburu rusa, malahan meminati haiwan yang cantik-cantik seperti kuda, biri-biri jantan, ayam jantan laklung persis orang pilihara ayam serama zaman kini. Bapa mertua kepada Tuan-tuan Guru Haji Ahmad Bat Tiga Repek dan Haji Awang Beta ini kembali ke rahmatullah pada jam 8.30 malam Khamis 18 Zulkaedah 1353 bersamaan 20 Februari 1935 dan dikebumikan di Kubor Selehong, Tumpat.
Kegiatan dakwah Islamiahnya diteruskan oleh murid-muridnya hingga ke hari ini. Antara yang masyhur termasuklah Pak Chu Che Abbas Kelong, Haji Yaakub Kelong, Haji Pak Man Berangan, Haji Che Mamat Kok Keli., Haji Awang Lambor, Haji Yaakub Wakaf Bharu, Haji Abdul Rahman Dalam Pator, Haji Abdul Rahman Tendong, Hj. Abdul Rahman Pohon Tanjung, Hj. Abdullah Tal Tujoh, Hj. Che Mat Padang Upeh, Hj. Abdul Aziz Kg. Tujoh, Hj. Mat Bola Geting, Hj. Saleh Pedada Bunohan, Pak Su Wil Kg. Dangar, Hj. Abdul Kadir Gaal, YB Hj. Muhammad Batu Hitam dan Hj. Wan Abdul Latif Jerteh (Terengganu).

Sabtu, 16 April 2011

Penyakit hati dan obatnya

Hati Yang Sehat


Karena ada hati yang disifati hidup dan sebaliknya maka keadaan hati dapat dikelompokkan menjadi tiga macam. Pertama, hati yang sehat yaitu hati yang bersih yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagaimana firman Allah,

"(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'ara': 88-89).

Disebut qalbun salim (hati yang bersih, sehat) karena sifat bersih dan sehat telah menyatu dengan hatinya, sebagaimana kata Al-Alim, Al-Qadir (Yang Maha Mengetahui, Mahakuasa). Di samping, ia juga merupakan lawan dari sakit dan aib.

Orang-orang berbeda pendapat tentang makna qalbun salim. Sedang
yang merangkum berbagai pendapat itu ialah yang mengatakan qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan berita-Nya. Ia selamat dari melakukan penghambaan kepada selain-Nya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain Rasul-Nya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam berhukum kepada Rasul-Nya, bersih dalam ketakutan dan berpengharapan pada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam kembali kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun. Dan inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah semata.

Jadi, qalbun salim adalah hati yang selamat dari menjadikan sekutu
untuk Allah dengan alasan apa pun. la hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allah semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inabah (kembali), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja'(pengharapan), dan ia mengikhlaskan amalnya untuk Allah semata. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allah. Jika ia membenci maka ia membenci karena Allah. Jika ia memberi maka ia memberi karena Allah.

Jika ia menolak maka ia menolak karena Allah. Dan ini tidak cukup
kecuali ia harus selamat dari ketundukan serta berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Ia harus mengikat hatinya kuat-kuat dengan beliau untuk mengikuti dan tunduk dengannya semata, tidak kepada ucapan atau perbuatan siapa pun juga; baik itu ucapan hati, yang berupa kepercayaan; ucapan lisan, yaitu berita tentang apa yang ada di dalam hati; perbuatan hati, yaitu keinginan, cinta dan kebencian serta hal lain yang berkaitan dengannya; perbuatan anggota badan, sehingga dialah yang menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun yang sepele. Dia adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, sehingga tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan, sebagaimana firman Allah,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah
dan Rasul-Nya." (Al-Hujurat: 1).

Artinya, janganlah engkau berkata sebelum ia mengatakannya, ja-
nganlah berbuat sebelum dia memerintahkannya. Sebagian orang salaf berkata, "Tidaklah suatu perbuatan -betapa pun kecilnya- kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?" Maksudnya, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Soal pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi atau yang mendorongnya; apakah ia bertujuan jangka pendek untuk kepentingan pelakunya, bertujuan duniawi semata untuk mendapatkan pujian orang atau takut celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci ataukah motivasi perbuatan tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari kecintaan dan kedekatan kepada Tuhan Subhanahu wa Ta'ala dan mendapatkan wasilah (kedekatan) dengan-Nya.

Inti pertanyaan yang pertama adalah apakah kamu melaksanakan
perbuatan itu untuk Tuhanmu atau engkau melaksanakannya untuk kepentingan dan hawa nafsumu sendiri? Sedang pertanyaan yang kedua merupakan pertanyaan tentang mu taba'ah (mengikuti) Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallant dalam soal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan itu termasuk yang disyariatkan kepadamu melalui lisan Rasul-Ku atau ia merupakan amalan yang tidak Aku syariatkan dan tidak Aku ridhai? Yang pertama merupakan pertanyaan tentang keikhlasan dan yang kedua pertanyaan tentang mutaba'ah kepada Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, karena sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan pun kecuali dengan syarat keduanya.

Jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan pertama adalah
dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutaba'ah, selamatnya hati dari keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang mutaba'ah. Inilah hakikat keselamatan hati yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan.





Hati Yang Mati



Tipe hati yang kedua yaitu hati yang mati, yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengetahui Tuhannya, tidak menyembah-Nya sesuai dengan perintah yang dicintai dan diridhai-Nya. Ia bahkan selalu menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dirinya, meskipun dengan begitu ia akan dimurkai dan dibenci Allah. Ia tidak mempedulikan semuanya, asalkan mendapat bagian dan keinginannya, Tuhannya rela atau murka.

Ia menghamba kepada selain Allah; dalam cinta, takut, harap, ridha dan benci, pengagungan dan kehinaan. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena hawa nafsunya. Jika ia membenci maka ia membenci karena hawa nafsunya. Jika ia memberi maka ia memberi karena hawa nafsunya. Jika ia menolak maka ia menolak karena hawa nafsunya. Ia lebih mengutamakan dan mencintai hawa nafsunya daripada keridhaan Tuhannya.

Hawa nafsu adalah pemimpinnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah sopirnya, kelalaian adalah kendaraannya. Ia terbuai dengan pikiran untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, mabuk oleh hawa nafsu dan kesenangan dini. Ia dipanggil kepada Allah dan ke kampung akhirat dari tempat kejauhan. Ia tidak mempedulikan orang yang memberi nasihat, sebaliknya mengikuti setiap langkah dan keinginan syetan. Dunia terkadang membuatnya benci dan terkadang membuatnya senang. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta selain dari kebatilan. Keberadaannya di dunia sama seperti gambaran yang dikatakan kepada Laila, "Ia musuh bagi orang yang pulang dan kedamaian bagi para penghuninya. Siapa yang dekat dengan Laila tentu ia akan mencintai dan mendekati."

Maka membaur dengan orang yang memiliki hati semacam ini adalah penyakit, bergaul dengannya adalah racun dan menemaninya adalah kehancuran.




Hati Yang Sakit



Tipe hati yang ketiga adalah hati yang hidup tetapi cacat. Ia memiliki dua materi yang saling tarik-menarik. Ketika ia memenangkan per-tarungan itu maka di dalamnya terdapat kecintaan kepada Allah, keiman-an, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya, itulah materi kehidupan. Di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada nafsu, keinginan dan usaha keras untuk mendapatkannya, dengki, takabur, bangga diri, kecintaan berkuasa dan membuat kerusakan di bumi, itulah materi yang menghan-curkan dan membinasakannya. Ia diuji oleh dua penyeru: Yang satu menyeru kepada Allah dan Rasul-Nya serta hari akhirat, sedang yang lain menyeru kepada kenikmatan sesaat. Dan ia akan memenuhi salah satu di antara yang paling dekat pintu dan letaknya dengan dirinya.

Hati yang pertama selalu tawadhu’, lemah lembut dan sadar, hati yang kedua adalah kering dan mati, sedang hati yang ketiga hati yang sakit; ia bisa lebih dekat pada keselamatan dan bisa pula lebih dekat pada kehancuran.

Allah menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya,

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu ke-inginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keingin-an itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Al-Qur’an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 52-54).

Dalam ayat ini Allah membagi hati menjadi tiga macam: Dua hati terkena fitnah dan satu hati yang selamat. Dua hati yang terkena fitnah adalah hati yang di dalamnya ada penyakit dan hati yang keras (mati), sedang yang selamat adalah hati orang Mukmin yang merendahkan dirinya kepada Tuhannya, dialah hati yang merasa tenang dengan-Nya, tunduk, berserah diri serta taat kepada-Nya.

Yang demikian itu karena hati dan anggota tubuh lainnya diharapkan agar selamat dan tidak ada penyakit di dalamnya, dan melaksanakan tujuan dari penciptaannya. Adapun penyimpangannya dari jalan lurus mungkin karena ia kering dan keras serta tidak melaksanakan apa yang semestinya diinginkan daripadanya. Seperti tangan yang putus, hidung yang bindeng, dzakar yang impoten dan mata yang tak bisa melihat sesuatu. Atau karena terdapat penyakit dan kerusakan yang mengha-langinya melakukan pekerjaan secara sempurna dan berada dalam ke-benaran. Oleh sebab itu, hati terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: Hati yang sehat dan selamat, yaitu hati yang selalu mene-rima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima se-penuhnya.

Kedua: Hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan taat pada kebenaran.

Ketiga: Hati yang sakit, jika penyakitnya sedang kambuh maka hati-nya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya maka hatinya menjadi sehat dan selamat.

Apa yang diperdengarkan oleh syetan dari kata-kata dan yang dibisik-kannya dari berbagai keragu-raguan dan syubhat adalah merupakan fitnah terhadap dua hati tersebut. Adapun hati yang hidup dan sehat maka dia tetap tegar. Ia selalu menolak berbagai ajakan syetan itu. Ia membenci dan mengutuknya. Ia mengetahui bahwa kebenaran adalah yang sebaliknya. Ia tunduk pada kebenaran, merasa tenang dengannya dan mengikutinya. la mengetahui kebatilan apa yang dibisikkan syetan. Karena itu iman dan kecintaannya pada kebenaran semakin bertambah, sebaliknya ia semakin mengingkari dan membenci kebatilan. Hati yang terfitnah dengan bisikan-bisikan syetan akan terus berada dalam ke-raguan, sedang hati yang selamat dan sehat tak pernah terpengaruh dengan apa pun yang dibisikkan syetan.

Hudzaifah bin Al-Yamani Radhiyallahu Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar (yang di-anyam), sebatang-sebatang. Hati siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam hatinya. Dan hati siapa yang meng-ingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga men-jadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh hawa nafsunya. (Yang satunya hati) putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi.” (Diriwayatkan Muslim).

Beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam menyamakan hati yang sedikit demi sedikit terkena fitnah dengan anyaman-anyaman tikar, yakni ke-kuatan yang merajutnya sedikit demi sedikit. Beliau membagi hati dalam menyikapi fitnah menjadi dua macam: Pertama, hati yang bila dihadapkan dengan fitnah serta merta mencintainya, seperti bunga karang menyerap air, sehingga timbullah noktah hitam di dalamnya. Demikianlah, ia terus menyerap setiap fitnah yang dihadapkan pada-nya, sampai hatinya menjadi hitam legam dan terbalik. Inilah makna sabda beliau “cangkir yang terbalik”. Jika hati telah hitam legam dan terbalik maka ia akan dihadapkan pada dua bencana dan penyakit yang membahayakannya serta melemparkannya pada kebinasaan. Pertama, ia memandang sesuatu yang baik sama dengan sesuatu yang buruk. Ia menjadi tidak tahu mana yang baik, tidak pula mengingkari kemungkaran. Bahkan mungkin karena sangat kronisnya penyakit ini, sehingga ia mempercayai bahwa yang baik itulah yang mungkar dan yang mung-kar. itulah yang baik, yang haq adalah batil dan yang batil adalah haq. Kedua, ia menjadikan hawa nafsu sebagai pedoman apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia senantiasa tunduk dan mengikuti hawa nafsunya.

Kedua, hati putih yang memancarkan cahaya iman, di dalamnya terdapat pelita yang menerangi. Jika fitnah dihadapkan padanya ia mengingkari dan menolaknya, sehingga hatinya pun menjadi semakin bercahaya, memancarkan sinar dan semakin kokoh.

Fitnah-fitnah yang menimpa hati itulah penyebab timbulnya penya-kit hati. Di antara fitnah-fitnah itu adalah fitnah syahwat dan syubhat, fitnah kesalahan dan kesesatan, fitnah maksiat dan bid’ah, fitnah keza-liman dan fitnah kebodohan. Fitnah-fitnah yang pertama mengakibatkan rusaknya tujuan dan keinginan, sedang fitnah-fitnah kedua mengakibat-kan rusaknya ilmu dan i’tiqad (kepercayaan).

Para sahabat Radhiyallahu Anhum membagi hati menjadi empat macam. Demikian seperti disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman, “Hati itu ada empat macam: Pertama, hati murni yang di dalamnya ada pelita yang menyala, itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tetapi mengingkarinya, ia melihat tetapi membuta. Dan terakhir hati yang terdiri dari dua materi: Iman dan kemunafikan, mana yang menang dalam pergulatan itulah yang menguasai.

Adapun yang dimaksud dengan hati murni yaitu hati yang bebas dari selain Allah dan Rasul-Nya. Ia bebas dan selamat dari selain kebe-naran. Di dalamnya ada pelita yang menyala. Itulah pelita iman. Disebut murni karena ia selamat dari berbagai syubhat batil dan syahwat sesat, juga karena di dalamnya ia memperoleh pelita yang menyinarinya de-ngan cahaya ilmu dan iman. Hati orang kafir disebut sebagai hati yang tertutup karena hati itu ada di dalam sampul dan penutup, sehingga ti-dak ada cahaya ilmu dan iman yang sampai padanya, sebagaimana firman Allah mengisahkan tentang orang-orang Yahudi,

“Mereka berkata, ‘Hati kami tertutup’.” (Al-Baqarah: 88).

Penutup itu Allah letakkan di atas hati mereka sebagai siksaan kare-na penolakan mereka terhadap kebenaran dan kecongkakan mereka sehingga tak mau menerima kebenaran. Ia adalah hati yang mati, pende-ngaran yang tuli, penglihatan yang buta. Dan semua itu adalah dinding yang menutupinya dari penglihatan.

“Dan bila kamu membaca Al-Qur’an, niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup dan Kami adakan tutupan di atas hati mereka dan sumbatan di telinga mereka agar mereka tidak dapat memahaminya.” (Al-Isra’: 45-46).

Bila disebutkan pengesaan tauhid dan pengesaan mutaba’ah (ke-taatan) maka orang-orang yang memiliki hati ini akan segera lari men-jauhinya.

Hati orang munafik disebut sebagai hati yang terbalik, sebagaimana firman Allah,

“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalik-kan mereka kepada kekafiran disebabkan oleh usaha mereka sendiri.” (An-Nisa’: 88).

Maksudnya Allah membalikkan dan mengembalikan mereka pada kebatilan yang dahulu mereka berada di dalamnya, disebabkan oleh usaha dan perbuatan mereka yang salah. Inilah sejahat-jahat dan sebu-ruk-buruk hati. la mempercayai bahwa yang batil adalah benar dan se-tia kepada para pengikut kebatilan. Sebaliknya, ia mempercayai bahwa yang haq itulah yang batil dan memusuhi orang-orang yang meng-ikuti kebenaran. Wallahul musta’an (hanya kepada Allah kita memohon perto-longan).

Hati yang di dalamnya terdapat dua materi adalah hati yang imannya belum mantap dan pelitanya belum menyala. Ia belum memurnikan dirinya untuk kebenaran yang karenanya Allah mengutus para rasul. Ia adalah hati yang berisi materi kebenaran dan hal yang sebaliknya. Terkadang ia lebih dekat dengan kekafiran daripada dengan keimanan. Dan pada kali lain, ia bisa lebih dekat dengan keimanan daripada dengan kekafiran. Karena itu, ia akan dikuasai oleh yang memenangkan pergulatan antara keduanya.




Pembagian Obat Penyakit Hati : Alamiyah dan Syar’iyah




Penyakit hati itu ada dua macam: Pertama, orang yang bersangkutanseketika itu tidak merasakan sakit apa-apa, dan inilah jenis penyakit terdahulu, seperti: Penyakit kebodohan, penyakit syubhat dan keraguan serta penyakit syahwat. Penyakit hati ini adalah jenis penyakit yang paling besar, tetapi karena hati telah rusak maka ia tidak merasakan sakit apa-apa. Sebab mabuk kebodohan dan hawa nafsu telah menghalanginya dari mengetahui penyakit. Jika tidak, tentu ia akan merasakannya, sebab penyakit itu ada pada dirinya. Tetapi ia tidak mempedulikannya karena sibuk dengan hal lain yang tak ada sangkut pautnya dengan masalah yang ia hadapi. Inilah jenis penyakit hati yang paling berbahaya dan paling sulit. Yang bisa melakukan pengobatannya hanyalah para rasul dan pengikutnya, merekalah dokter-dokter dari jenis penyakit ini.

Kedua, penyakit hati yang menimbulkan sakit seketika, seperti: Sedih, gundah, resah dan marah. Penyakit ini terkadang bisa hilang dengan obat-obat alamiah. Seperti dengan menghilangkan sebab-sebabnya, atau mengobatinya dengan sesuatu yang berlawanan dengan sebab-sebab yang dimaksud atau dengan sesuatu yang bisa menyehatkannya. Dan, sebagaimana hati terkadang merasa sakit dengan sakit yang dirasakan oleh badan, demikian pula badan, ia sering merasa sakit dengan sakit yang dirasakan oleh hati, ia menjadi malang karena kemalangan yang dirasakan oleh hati.

Beberapa penyakit hati yang bisa dihilangkan dengan obat-obat alamiah adalah termasuk jenis penyakit badan. Dan hal itu terkadang tidak menjadi faktor satu-satunya yang menyebabkannya celaka atau disiksa setelah ia mati. Adapun penyakit-penyakit hati yang tidak bisa sembuh kecuali dengan obat imaniyah Nabawiyah maka itulah yang menjadi faktor penentu bagi kecelakaan dan siksa kekal, jika ia tidak mendapatkan obat-obat yang merupakan lawan daripadanya. Jika ia menggunakan obat-obatan itu maka penyakitnya akan sembuh. Karena itu dikatakan, "Ia telah sembuh dari marahnya." Bila musuh hati sedang menguasai maka hal itu akan menyakitkannya dan bila ia sadar daripadanya maka hatinya akan sembuh. Allah befirman,

"Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman dan menghilangkan kemarahan orang-orang Mukmin. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya."
(At-Taubah: 14-15).

Allah memerintahkan agar mereka memerangi musuh-musuh mereka, dan Dia memberitahukan bahwa di dalamnya ada enam manfaat.

Marah adalah menyakitkan hati, obatnya dengan meredakan kemarahan itu, jika ia mengobatinya dengan yang haq, niscaya ia akan sembuh, tetapi jika ia mengobatinya dengan kezaliman dan kebatilan maka penyakit itu akan semakin bertambah, sedang dia menyangka bahwa hal itu akan menyembuhkannya. Ia laksana orang yang mengobati penyakit rindu dengan melakukan maksiat bersama orang yang dirindukannya, padahal itu akan menambah penyakitnya, akan timbul penyakit lain yang lebih sulit dari sekedar rindu. Hal ini insya Allah akan kita bahas kemudian secara rinci. Kegundahan, kegelisahan dan kesedihan juga merupakan penyakit-penyakit hati, dan untuk mengobatinya yaitu dengan mencarikan hal yang berlawanan dengannya yakni kesenangan dan kegembiraan. Jika hal itu ia obati dengan haq maka had akan menjadi sembuh dan sehat dari penyakitnya. Dan jika diobati dengan yang batil niscaya penyakit itu akan tetap bersembunyi dan menyelinap, ia akan tetap ada bahkan menyebabkan penyakit-penyakit lain yang lebih sulit dan lebih berbahaya.

Demikian pula kebodohan, ia adalah penyakit yang menyakitkan hati, dan di antara manusia ada yang mengobatinya dengan ilmu-ilmu yang tidak bermanfaat, sedang dia mempercayai bahwa dengan ilmu-ilmu tersebut maka penyakitnya telah hilang. Padahal yang sesungguhnya, hal itu hanya malah menambah penyakit lain atas penyakitnya, tetapi hati tidak mau mempedulikan sakit yang dikandungnya, disebabkan oleh kebodohannya dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat, yang ia merupakan syarat bagi kesehatan dan kesembuhannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda tentang orang-orang yang berfatwa dengan kebodohannya, sehingga menjerumuskan orang-orang yang meminta fatwa padanya, beliau bersabda,

"Mereka membunuh orang tersebut, semoga Allah membunuh mereka, mengapa mereka tidak bertanya saat mereka tidak mengerti? Sesungguhnya sembuhnya penyakit adalah dengan bertanya. "*)

Demikian pula dengan orang yang ragu dan bingung, hatinya akan merasa sakit sampai ia mendapatkan ilmu dan keyakinan. Dan karena keraguan membuat hati menjadi panas maka kepada orang yang mendapatkan keyakinan dikatakan, hatinya sejuk, keyakinan membuatnya sejuk. Juga seseorang akan merasa sempit dengan kebodohan dan ketersesatannya dari jalan kebenaran. Sebaliknya, akan merasa lapang dengan petunjuk dan ilmu.

Allah befirman,

"Siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscayaDia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seakan-akan ia sedang mendaki ke langit." (Al-An’am: 125).

Pembahasan mengenai sesak dada, sebab dan pengobatannya insya Allah akan kita kaji kemudian.
Maksudnya, di antara penyakit hati ada yang hilang dengan obat-obatan alamiah, tetapi ada pula di antaranya yang tidak dapat hilang kecuali dengan obat-obatan syariat dan iman. Dan hati memiliki kehidupan dan kematian, sakit dan sehat, dan itulah sesuatu yang paling agung yang dimiliki oleh badan.

(Ighatsatul Lahfan – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah)

*) Abu Daud dan Daruquthni meriwayatkan dari Jabir, ia berkata, "Kami keluar dalam suatu perjalanan, lalu seorang dari kami tertimpuk batu sehingga ia terluka kepalanya, kemudian ia mimpi basah, lalu ia bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kalian mendapatkan rukhshah untukku sehingga aku bertayamum?" Mereka menjawab, "Kami tidak mendapatkan rukhshah untukmu, sedangkan engkau bisa menggunakan air." Orang itu lalu mandi dan kemudian meninggal. Ketika kami menghadap Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, kepada beliau dikisahkan peristiwa tersebut. Maka beliau bersabda, "Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya saat mereka tidak menge-tahui?" (Lihat Muntaqal Akhbar, 1/161, no.452).

Syeikh Idris Al-Marbawi

Syeikh Idris Al-Marbawi

Tuan Guru Nik Abd Aziz Nik Mat

Tuan Guru Nik Abd Aziz Nik Mat

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

Ustaz Dato' Shamsuri Hj Ahmad

Ustaz Dato' Shamsuri Hj Ahmad

Ustaz Azhar Idrus

Ustaz Azhar Idrus