Khamis, 14 Oktober 2010

Langkah-langkah menjadi manusia terbaik

Terdapat hadith ringkas tetapi sangat sangat maknanya. Ia dikutip dalam buku Al-Jami'ush Shaghir yang ditulis Imam Suyuthi.

Hadithnya berbunyi, "Khairun naasi anfa'uhum linnaas." Terjemahan: Sebaik-baik manusia adalah siapa yang paling banyak manfaat pada orang lain.

Darjat hadith ini menurut Imam Suyuthi tergolong dalam hadith hasan. Syeikh Nasiruddin Al-Bani dalam bukunya Shahihul Jami’ush Shagir sependapat dengan penilaian Suyuthi.

Adalah terbukti bahawa manusia itu makhluk sosial. Tiada yang akan membantah. Tidak ada seorang pun yang boleh hidup sendiri. Semua saling bergantungan. Saling memerlukan.

Kerena saling memerlukan, pola hubungan seseorang dengan orang lain adalah untuk saling mengambil manfaat. Ada yang memberi pertolongan dan ada yang menerima pertolongan. Si pemberi pertolongan mendapat imbalan dan penerima pertolongan mendapat manfaat. Itulah pola hubungan yang lazim. Adil.

Jika ada orang yang mengambil terlalu banyak manfaat dari orang lain dengan pengorbanan yang amat sedikit, naluri kita akan mengatakan itu tidak adil. Orang itu telah berlaku tidak baik. Dan kita akan mengatakan seseorang berbuat jahat ketika mengambil banyak manfaat untuk dirinya sendiri dengan cara yang tidak elok dan melanggar hak orang lain.

Begitulah hati sanubari kita, selalu menginginkan pola hubungan yang saling ridha dalam mengambil manfaat dari satu sama lain. Jiwa kita akan senang dengan orang yang mengambil manfaat bagi dirinya dengan cara yang baik. Kita anggap seburuk-buruk manusia orang yang mengambil manfaat banyak dari diri kita dengan cara yang salah. Apakah itu menipu, mencuri, dan memeras, bahkan dengan kekerasan.
Namun yang luar biasa adalah orang lebih banyak memberi dari mengambil manfaat dalam berhubungan dengan orang lain. Orang yang seperti ini kita sebut orang yang terbaik di antara kita. Dermawan. Ikhlas. Tiada kepentingan peribadi.

Orang yang selalu menebar kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain adalah sebaik-baik manusia. Kenapa Rasulullah saw menyebut seperti itu? Setidaknya ada empat alasan.

Pertama, kerena ia dicintai Allah swt. Rasulullah saw pernah bersabda yang bunyinya seperti ini: orang yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain. Siapakah yang lebih baik dari orang yang dicintai Allah?

Alasan kedua, kerena ia melakukan amal yang terbaik. Kaedah usul fiqh menyebutkan bahawa kebaikan yang amalnya dirasakan orang lain lebih bermanfaat berbanding yang manfaatnya dirasakan oleh diri sendiri. Apalagi jika spektrumnya lebih luas lagi. Amal itu boleh menyebabkan orang seluruh negeri merasakan manfaatnya. Kerena itu tidak hairan jika para sahabat ketika ingin melakukan suatu kebaikan bertanya kepada Rasulullah, amal apa yang paling afdhal untuk dikerjakan. Ketika musim kemarau dan masyarakat sukar mendapatkann air, Rasulullah berkata membuat sumur adalah amal yang paling utama. Saat seseorang ingin berjihad sementara ia punya ibu yang sudah tua dan tidak ada yang akan menjaga, Rasulullah menyebut berbakti kepada si ibu adalah amal yang paling utama bagi orang itu.

Ketiga, kerena ia melakukan kebaikan yang sangat besar pahalanya. Berbuat sesuatu untuk orang lain besar pahalanya. Bahkan Rasulullah saw. berkata, “Seandainya aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu keperluannya, maka itu lebih aku cintai daripada I'tikaf sebulan di masjidku ini.” (Thabrani). Subhanallah.

Keempat, memberi manfaat kepada orang lain tanpa keluh kesah, mengundang kesaksian dan pujian orang yang beriman. Allah swt. mengikuti persangkaan hambanya. Ketika orang menilai diri kita adalah orang yang baik, maka Allah swt. menggolongkan kita ke dalam golongan hambanya yang baik-baik.

Pernah suatu ketika lewat orang membawa jenazah untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut orang itu sebagai orang yang tidak baik. Kemudian lewat lagi orang-orang membawa jenazah lain untuk diantar ke kuburnya. Para sahabat menyebut-nyebut kebaikan si mayyit. Rasulullah saw. membenarkan. Seperti itu jugalah Allah swt. Kerena itu di dalam surah At-Taubah ayat 105, Allah swt. menyuruh Rasulullah saw. untuk memerintahkan kita, orang beriman, untuk beramal sebaik-baik amal agar Allah, Rasul, dan orang beriman menilai amal-amal kita. Di hari akhir, Rasul dan orang-orang beriman akan menjadi saksi di hadapan Allah bahawa kita seperti yang mereka saksikan di dunia.



Untuk menjadi orang yang banyak memberi manfaat kepada orang lain, kita perlu menyiapkan beberapa perkara dalam diri kita.

Pertama, tingkatkan darjat keimanan kita kepada Allah swt. Sebab, amal tanpa keluh-kesah adalah amal yang hanya mengharap ridha kepada Allah. Kita tidak meminta balasan dari manusia, cukup dari Allah swt sahaja balasannya. Ketika iman kita tipis terkikis, tak mungkin kita akan boleh beramal ikhlas Lillahi Ta’ala.
Ketika iman kita memuncak kepada Allah swt., segala amal untuk memberi manfaat bagi orang lain menjadi ringan dilakukan. Bilal bin Rabah bukanlah orang kaya. Ia hidup miskin. Namun kepadanya, Rasulullah saw. memerintahkan untuk bersedekah. Sebab, sedekah tidak membuat rezeki berkurang. Begitu kata Rasulullah saw. Bilal mengimani janji Rasulullah saw itu. Ia tidak ragu untuk bersedekah dengan apa yang dimiliki dalam keadaan sesulit apapun.

Kedua, untuk boleh memberi manfaat yang banyak kepada orang lain, kita harus mengikis habis sifat ego dan rasa serakah terhadap material dari diri kita. Allah swt memberi contoh kaum Anshar. Lihat surah Al-Hasyr ayat 9. Merekalah sebaik-baik manusia. Memberikan semua yang mereka perlukan untuk saudara mereka kaum Muhajirin. Bahkan, ketika kaum Muhajirin telah cukup secara finansial, tidak terdetik di hati mereka untuk meminta kembali apa yang pernah mereka beri.

Yang ketiga, tanamkan dalam diri kita logika bahawa sisa harta yang ada pada diri kita adalah yang telah diberikan kepada orang lain. Bukan yang ada dalam genggaman kita. Logika ini diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita. Suatu ketika Rasulullah saw. menyembelih kambing. Beliau memerintahkan seorang sahabat untuk menyedekahkan daging kambing itu. Setelah dibagi-bagi, Rasulullah saw bertanya, berapa yang tersisa. Sahabat itu menjawab, hanya tinggal sepotong paha. Rasulullah saw mengoreksi jawaban sahabat itu. Yang tersisa bagi kita adalah apa yang telah dibahagikan.Begitulah. Yang tersisa adalah yang telah dibahagikan. Itulah milik kita yang hakiki kerena kekal menjadi tabungan kita di akhirat. Sementara, daging paha yang belum dibahagikan hanya akan menjadi sampah jika busuk tidak sempat kita manfaatkan, atau menjadi kotoran ketika kita makan. Begitulah harta kita. Jika kita tidak memanfaatkannya untuk beramal, maka tidak akan menjadi milik kita selamanya. Harta itu akan habis lapuk kerena waktu, hilang kerena kematian kita, dan selalu menjadi intaian ahli waris kita. Maka tidak hairan jika dalam sejarah kita melihat bahawa para sahabat dan salafussaleh mudah saja menginfakkan wang yang mereka miliki. Sampai-sampai tidak terfikir untuk menyisakan barang sedirham pun untuk diri mereka sendiri.

Keempat, kita akan mudah memberi manfaat tanpa keluh-kesah kepada orang lain jika dibenak kita ada pemahaman bahawa sebagaimana kita memperlakukan seperti itu jugalah kita akan diperlakukan. Jika kita memuliakan tamu, maka seperti itu jugalah yang akan kita dapat ketika bertamu. Ketika kita pelit ke tetangga, maka sikap seperti itu jugalah yang kita dari tetangga kita.

Kelima, untuk boleh memberi, tentu Anda harus memiliki sesuatu untuk diberi. Kumpulkan bekal apapun bentuknya, apakah itu finansial, fikiran, tenaga, waktu, dan perhatian. Jika kita punya air, kita boleh memberi minum orang yang harus. Jika punya ilmu, kita boleh mengajarkan orang yang tidak tahu. Ketika kita sehat, kita boleh membantu beban seorang nenek yang menjinjing tak besar. Luangkan waktu untuk bersosial, dengan begitu kita boleh hadir untuk orang-orang di sekitar kita.
Mudah-mudahan yang sedikit ini boleh memberi inspirasi.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syeikh Idris Al-Marbawi

Syeikh Idris Al-Marbawi

Tuan Guru Nik Abd Aziz Nik Mat

Tuan Guru Nik Abd Aziz Nik Mat

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

ulama' ikutan kita

Ustaz Dato' Shamsuri Hj Ahmad

Ustaz Dato' Shamsuri Hj Ahmad

Ustaz Azhar Idrus

Ustaz Azhar Idrus